KONSEP hijrah secara substansial sudah menjadi ajaran dasar Islam, jauh sebelum hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah, demikian disampaikan oleh Ustaz Abdullah Haidir, Lc.
Bahkan justeru hijrah dari Mekah ke Madinah tersebut tak lain merupakan implementasi ajaran hijrah yang sejak awal sudah dibangun dalam keyakinan Islam.
Baca Juga: Hijrah untuk Meraih Bahagia Bersama Ustazah Syifa Nurfadhilah
Hijrah Sudah Menjadi Ajaran Dasar Islam Jauh Sebelum Peristiwa Hijrah
Hijrah (الهجرة) dalam bahasa arab dari segi bahasa maknanya adalah meninggalkan (الترك). Adapun menurut kacamata syariat, makna hijrah dengan lugas dinyatakan dalam sabda Rasulullah saw;
والمُهاجِرُ من هَجَر ما نَهى اللهُ عنه
“Orang yang berhijrah adalah mereka yang meninggalkan apa yang Allah larang darinya.” (HR. Bukhari)
Perhatikan saja surat Al-Muzammil dan Al-Muddatsir, dua surat yang turun pada permulaan Islam, di dalamnya ada nilai hijrah yang ditanamkan;
وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا
“…Dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzammil: 10)
وَالرُّجۡزَ فَاهۡجُرۡ
“Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji.” (QS. Al-Mudatsir: 5)
Bahkan lebih dari itu, kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah, yang menjadi tema utama dakwah para Rasul, didahului dengan kalimat ‘nafy’ (meniadakan).
Makna ini paralel dengan nilai hijrah. Karena tauhid kita tidak akan pernah diterima jika kita masih saja belum mau meninggalkan segala sembahan dan keyakinan kepada selain Allah taala.
Karena, selain melakukan apa yang harus dilakukan, Islam tidak mungkin tegak tanpa meninggalkan apa yang seharusnya ditinggalkan.
Para ulama menyebutnya dengan istilah tahallii (menghias diri dengan amal saleh) dan takhollii (meninggalkan apa yang dilarang).
Di antara yang menjadi penghalang utama kaum musyrikin masa lalu untuk menerima dakwah para nabi, adalah karena mereka tidak bersedia meninggalkan apa yang sudah mereka sembah.
“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yagus, Ya‘uq dan Nasr.” (QS. Nuh: 23)
Maka, hijrah seharusnya sudah menjadi mentalitas dasar kehidupan muslim. Jika dengan meninggalkan sesuatu dia nilai akan menyelamatkan agamanya atau menjadikan Islamnya lebih baik, otomatis dia siap meninggalkannya, apapun resikonya.
Jangan lagi ada seorang muslim yang masih saja bersilat lidah untuk meninggalkan perkara-perkara yang jelas keharamannya atau perkara-perkara yang jelas mendatangkan musibah bagi agamanya.
Wallahu A’lam. [Ln]