KITA mungkin sering mendengar penyair bernama Abu Nawas yang terkenal dengan humor-humornya yang cerdik pada masa khalifah Bani Abbasiyah yaitu Harun Ar-Rasyid.
Namun menurut Ustaz Asep Sobari, pendiri Sirah Community Indonesia, penyebutan nama Abu Nawas tidaklah benar, melainkan Abu Nuwas.
Abu Nuwas merupakan nama panggilan dari Hasan bin Hani. Ia adalah maula Bani Umayyah. Ketika masih kecil, sang ibu menjualnya kepada seorang penjaga toko dari Yaman bernama, Sa’ad al-Yashira.
Baca Juga: Puisi Taufik Ismail untuk Palestina
Abu Nuwas Bukan Abu Nawas, Penyair Kontroversial Terkenal Masa Harun Ar-Rasyid
Cerita tentang Abu Nuwas banyak dikenal secara kontrovesial, selain humornya serta kedekatannya dengan khalifah, ia juga terkenal dengan puisi-puisinya tentang khamr dan cabul.
Ustaz asep menggarisbawahi bahwa sebenarnya yang paling menonjol dari Abu Nuwas adalah seorang penyair hebat, ia adalah salah satu pujangga terbesar masa itu.
Para penyair masanya, hingga setelahnya mengakui kepakaran Abu Nuwas dalam syair dan sastra.
Namun, latar belakang penyair bernama Hasan bin Hani ini tidak banyak ditemui dalam satu suara. Kelahirannya diperdebatkan antara tahun 140-an Hijriyyah.
Ia juga semasa dengan Imam asy-Syafi’i, bahkan sempat ada pertemuan di antara keduanya.
Berkaitan dengan ketenaran puisi-puisi Abu Nuwas tentang khamr dan cabul mendapat tanggapan dari Ibnu Katsir, sejarawan sekaligus mufassir abad 8 H.
Ibnu Katsir mengatakan “wallahu ta’ala ‘alam” (hanya Allah yang Maha Tinggi yang lebih tahu).
Ini karena semasa hidup Abu Nuwas, banyak puisi-puisi yang bukan digubah oleh Abu Nuwas, namun orang awam menisbatkan kepadanya supaya puisi-puisi tersebut terkenal. Terutama, puisi-puisi yang bernuansa cabul.
Salah seorang penyair yang hidup sezaman dengan Abu Nuwas bernama Walibah bin Hubab, ia juga sering membuat puisi-puisi cabul.
Dalam kitab asy-Syi’ir wa asy-Syu’araa karya Ibnu Qutaibah, ia sepakat bahwa puisi-puisi gubahan Walibah bin Hubah sering dinisbatkan oleh masyarakat awam kepada Abu Nuwas agar puisi tersebut terkenal.
Sehingga Ibnu Katsir mengatakan wallahu ta’ala ‘alam karena tidak yakin 100 persen bahwa syair-syair buruk tersebut gubahan Abu Nuwas atau hanya dinisbatkan saja kepadanya.
“Maka sebenarnya penilaian final terhadap Abu Nuwas tidak mudah. Apakah ia seorang yang fasik dan cabul,” ucap Ustaz Asep.
Ia juga menambahkan, di akhir hayatnya Abu Nuwas menggubah puisi-puisi yang bernuansa taubat yang terbukti masyhur dari Abu Nuwas, dan dikuatkan oleh kesaksian penyair zuhud, Abu Atahiya.
Abu Atahiya pernah mengatakan, “Aku sudah menggubah 20.000 puisi tentang zuhud, tapi bagiku 20.000 puisi itu tidak berarti dibanding 3 bait puisi Abu Nuwas.”
Menurut saksi sejarah masa setelahnya bahwa bait puisi taubat Abu Nuwas tertulis di nisan Abu Nuwas.
Berikut ini bait puisi yang digubah oleh Abu Nuwas:
“Ya Nuwas, merendahlah, menyesallah, sabarlah jika dalam hidupmu pernah merasakan kepedihan.
Sesungguhnya yang menyenangkanmu lebih banyak.
Wahai orang yang banyak menanggung dosa, sesungguhnya ampunan dari Allah atas dosamu itu lebih besar.” [Ln]