KELAHIRAN adalah awal, dan kematian sebagai akhir. Silakan menangis saat di awal, perjuangkan agar bisa tersenyum di akhir nanti.
Hampir setiap bayi yang lahir selalu dengan tangisan. Ia menangis begitu keras, sejadi-jadinya. Itulah kegiatan pertama sang bayi saat pertama kali menghirup udara bumi.
Sungguh pun begitu, meskipun tangisan umumnya pertanda kesusahan, siapa pun yang berada di sekeliling bayi saat itu akan tersenyum bahagia.
Senyum itu pertanda ungkapan ‘ahlan wasahlan’ atau selamat datang di dunia baru yang disebut alam dunia. Seribu satu harapan pun membuncah seiring kerasnya tangis keras itu.
Pertanyaannya, kenapa bayi harus menangis padahal kehadirannya disambut senyum bahagia?
Bayi suci harus menangis karena ia tak lagi hidup di alam suci seperti di rahim ibu. Sebuah alam kasih sayang yang hanya ia dan jiwa ibu yang tinggal.
Di alam itu, tak ada marah. Tak ada kecewa. Tak ada caci maki. Tak ada kekerasan. Tak ada dosa dan cela. Yang ada hanya kasih sayang yang mengalir dari limpahan kasih sayang ibu ke alam rahim.
Kini, alam steril itu tak ada lagi. Ia kini berada di alam dunia yang begitu menakutkan. Ada setan Qarin yang setia menanti untuk mengganggunya sepanjang hidup.
Ada sejuta ujian yang begitu sulit diraih kelulusan. Tidak ada detik berlalu tanpa serbuan ujian. Dari ujian yang ringan, hingga yang terus melaju ke puncak beban.
Sang bayi pun merasakan alam barunya menampakkan dua wajah yang bisa menipu. Satu wajah bahagia yang menyembunyikan kerasnya hidup. Satu lagi wajah duka yang terakumulasi dari rangkaian kegagalan.
Dua wajah yang baginya juga sangat menakutkan. Ia takut kalau pada saatnya nanti akan berada di salah satu dari dua wajah itu.
Sang bayi pun menghirup aroma pertaruhan besar. Di kehidupan dunia yang tak lama ini menjadi penentu untuk kehidupan yang abadi nanti. Sedikit saja tergelincir, ia bisa sengsara sepanjang masa.
Ia pun tak pernah tahu seperti apa tulisan takdir yang akan menjadi track jalan hidupnya. Bagaimana kalau ia dapat yang buruk?
Sentuhan alam baru yang serba menakutkan itu pun terimbangi dengan hamparan peluang bahagia yang kelak akan ia dapatkan.
Namun, semua itu harus ia tempuh dengan perjuangan berat, kesabaran yang serba prima, dan keimanan yang tak boleh goyah.
Lagi-lagi ia menangis keras. Di alam baru yang menakutkan itu, sang bayi begitu mengharapkan ada yang mengajarkan doa, “Ya Allah, aku terlahir menangis sementara yang lain tersenyum. Wafatkan aku nanti dalam keadaan tersenyum, sementara yang lain menangis.” [Mh]