ChanelMuslim.com- Wajah itu jendela hati. Ekspresi wajah merupakan keadaan hati. Dan senyum menunjukkan keadaan hati: ramah, senang, menghargai, ridha, sayang, bahkan sekadar basa-basi.
Senyum menunjukkan suasana hati seseorang yang disukai orang lain. Ada keramahan di situ. Ada perasaan senang dari sang pemilik senyum. Ada keridhaan dan penghargaan.
Ada rasa bahagia jika keberadaan kita disambut senyum oleh orang lain. Kita pun merasa nyaman karena sosok kita tidak dinilai bermasalah. Dan ini akan menjadi pembuka untuk mengekspresikan isi hati lain yang belum terungkap.
Mulailah obrolan mengalir. Tanpa hambatan. Tanpa sekat yang bisa membuat canggung suasana.
Cepat atau lambat ekspresi senyum tampil dari seseorang bergantung dari seberapa lama kita dikenal. Dari situlah senyum memiliki tingkatannya sendiri.
Ada senyum yang muncul sebagai kreasi logis. Senyum ini awalnya tidak spontan. Setelah nalar mengolah input, senyum pun akhirnya keluar. Mirip seperti prosedur. Munculnya agak lama dan terkesan biasa saja.
Untuk mereka yang terlatih dengan olah senyum, kita agak sulit menangkap arti senyum itu. Apakah ini tulus, atau ada yang ditarget.
Biasanya dunia marketing memahami tentang itu. Senyum seperti perangkap yang menjadikan konsumen tak berdaya. Ditambah lagi dengan tampilan yang menawan dari sang pemilik senyum. Pintu hati konsumen mulai terbuka, untuk selanjutnya silakan diambil alih.
Dalam bentuk yang lebih “jinak”, para pelayan publik sudah terbiasa dengan standar senyum jenis ini. Terkesan begitu memukau, tapi isinya sekadar bagian dari sebuah prosedur. Karena publik akan bisa menerima informasi setelah pemilik senyum berhasil menawan hati mereka.
Dari dua jenis senyum di atas, ada juga senyum lain yang akrab dalam dunia politik. Yaitu, senyum para politisi yang sangat fatamorgana. Terlihat begitu segar, tapi isinya sangat gersang. Sebagian orang menyebutnya dengan senyum pencitraan.
Senyum jenis ini akan muncul bombastis manakala dunia pemilu sudah di ambang pintu. Dengan ekspresi yang sangat terlatih, para politisi ini mampu menghapus memori gelap tentangnya hanya dengan olahan senyum yang begitu menawan.
Kalau para marketing terlatih dengan senyum, kalau pelayan publik paham betul bagaimana senyum, dan kalau para politisi lihai sekali mengolah senyum; bagaimana dengan kita?
Senyum seperti apa yang ingin kita ambil sebagai kekhasan kita. Apakah seperti para marketing yang senyumnya mengincar target. Apakah senyum pelayan publik yang terpaku dengan prosedur standar. Atau, seperti politisi yang senyumnya menyihir dan menipu?
Kalau merujuk ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa senyum itu sedekah, maka senyum itu akan bernilai jika keluar dengan ikhlas. Tulus sebagai ekspresi hati apa adanya.
Tidak berarti bahwa senyum menjadi hambar ketika hati gusar. Atau senyum yang kecut ketika suasana hati kalut.
Senyum tulus itu keluar lantaran suasana hati ridha dengan apa yang ada di depan kita. Ridha bahwa semua anugerah Allah itu memiliki hikmah. Ridha bahwa senyum menghargai itu berpahala, meskipun terhadap yang di bawah “level” kita.
Kalau ini yang terus terlatih dalam diri dan hati kita, suatu saat, kita akan tersenyum ikhlas manakala perjumpaan dengan Allah subhanahu wata’ala tiba.
Tersenyumlah karena itu sedekah sederhana kita. Tersenyumlah karena itulah kerendahan hati kita. Tersenyumlah karena dengan begitulah kita mentarbiyah suasana hati kita. (Mh)