HAJI merupakan rukun Islam yang unik. Tidak bisa dilakukan kecuali di Mekah dan sekitarnya, wajib buat yang mampu, dan hanya satu kali seumur hidup.
Beruntunglah mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dan buat yang belum, niat setidaknya sudah tertanam kuat untuk berangkat haji. Walaupun entah kapan itu terjadi.
Setidaknya, ada lima hikmah yang bisa dipetik dari ibadah haji. Yaitu:
Satu, ujian keikhlasan yang begitu besar.
Berbeda dengan ibadah lain yang jarang diketahui orang banyak, haji mau tidak mau, pasti akan diketahui orang banyak. Bukan sekadar tetangga, tapi juga lebih dari itu.
Ibadah ini istimewa. Orang yang bisa melaksanakannya berarti juga orang yang istimewa. Antara lain, ia orang yang mampu secara keuangan, memiliki tekad kuat yang luar biasa, dan siap sabar fisik dan batin.
Bahkan lebih dari itu, istimewanya orang bisa berangkat haji karena taruhannya juga nyawa. Tidak ada rukun Islam selain haji yang taruhannya nyawa. Tidak ada orang yang terancam mati karena shalat, puasa, zakat, apalagi syahadat.
Ada juga ujian keikhlasan lain, khususnya untuk orang Indonesia. Yaitu, orang Indonesia biasa menambahkan embel-embel atau gelar baru: pak haji atau bu haji.
Nah, apakah karena itu semua kita menunaikan ibadah haji? Atau karena semata-mata karena ingin meraih ridha Allah subhanahu wata’ala.
Dua, terpisah dari keluarga.
Bersyukur sekali mereka yang bisa berhaji bersama dengan keluarga. Setidaknya bersama istri atau suami.
Meskipun bersama istri atau suami, tetap saja mereka akan berpisah dengan anak-anak, ayah ibu, dan keluarga lain.
Perpisahan ini pun tidak ada jaminan kalau nanti pasti akan berjumpa lagi. Karena tak seorang pun yang bisa memastikan kita akan mati di mana.
Terlebih buat mereka yang usianya di atas enam puluhan. Bayangkan, di saat keadaan fisik begitu rapuh, ibadahnya hampir seratus persen menggunakan fisik.
Dan ketika nantinya Allah pertemukan lagi dengan keluarga di tanah air, hal ini akan menjadi terapi tersendiri untuk keharmonisan dan persaudaraan keluarga.
Tiga, belajar ‘mengenakan kafan’.
Salah satu hal wajib dan biasa dalam ibadah haji adalah mengenakan busana ihram, khususnya buat yang pria. Busana yang hanya terdiri dua lembar kain putih ini mengingatkan kita dengan kain kafan.
Jadi, seberapa pun harta yang dimiliki, setinggi apa pun jabatan semasa di dunia, seberapa mulia pun ketokohan di masyarakat; tetap mengenakan busana yang sama: dua lembar kain putih.
Ini mengingatkan kita bahwa suatu saat inilah busana kita untuk selamanya. Dan semua yang dimiliki akan ditinggalkan begitu saja.
Empat, magang ke padang mahsyar.
Salah satu rukun haji yang utama adalah wukuf di padang Arafah. Setelah jamaah mengenakan busana putih, mereka berdiam diri di sebuah tanah luas di Padang Arafah.
Hal ini mengingatkan kita dengan suasana yang akan kita rasakan. Yaitu, padang mahsyar atau tempat di mana semua manusia dikumpulkan untuk menghadapi pengadilan akhir.
Bedanya dengan padang mahsyar, padang Arafah kita bisa balik lagi ke rumah dan lingkungan kita. Bisa memperbaiki amal buruk yang mungkin biasa dilakukan.
Dengan begitu, mereka yang pulang haji sangat beralasan untuk memperbaiki kebiasaan baik yang mungkin pernah terlewatkan.
Lima, semua kita sama di hadapan Allah.
Di semua manasik atau prosesi ibadah haji, selalu saja memahamkan kita bahwa semua sama di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Siapa pun mereka, jumlah putaran thawafnya sama. Arah putarannya juga sama. Jumlah putaran sa’inya juga sama. Berkumpul di Arafahnya juga sama. Dan lain-lain.
Tidak ada diskon karena mereka pejabat. Mungkin saja mereka dikawal karena orang terhormat, tapi yang mengawal tetap dengan keadaan yang sama dengan jamaah haji lain.
Mereka pun melakukan ibadah di bawah terik matahari dengan panas yang sama. Tidak ada kekhususan seperti tempat yang ber-ac saat thawaf dan lainnya.
Yang membedakan para jamaah di sisi Allah adalah hanya karena takwanya. Selebihnya, mereka bukan siapa-siapa. [Mh]