YATIM adalah anak yang belum balig dan ditinggal wafat oleh ayahnya. Padahal seorang ayah memiliki banyak arti untuk seorang anak kecil.
Secara teori, umumnya kita memahami bahwa anak yatim harus disayangi dan disantuni. Tapi begitukah dalam kenyataannya?
Sepertinya, tak semua kita memiliki kepekaan terhadap anak yatim. Ada banyak hal yang menjadikan seperti itu. Antara lain, dan ini yang utama, kita tidak pernah merasakan bagaimana susahnya menjadi anak yatim.
Tidak heran jika sebagian besar mereka yang begitu peduli dengan anak yatim, adalah yang dulunya pernah merasakan hidup sebagai anak yatim.
Pernah merasakan kepiluan dan beratnya hidup sebagai anak yatim inilah yang melahirkan tekad. Bahwa kalau saya sukses nanti, saya akan bantu anak yatim. Sebisa yang saya lakukan.
Silahkan dicek para pengasuh anak yatim atau mereka yang aktif mengurus donasi anak yatim; adalah mereka yang dulunya juga sebagai anak yatim.
Namun, tidak berarti bahwa hanya yang pernah menjadi anak yatim yang patut membantu anak yatim. Semua muslim terikat dengan perintah Allah dan RasulNya untuk mengayomi anak yatim.
Allah subhanahu wata’ala menyebut mereka yang abai dengan anak yatim sebagai orang yang mendustakan agama.
Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan bahwa mereka yang kafil atau penjamin anak yatim akan bersama Nabi di surga nanti.
Kata ‘kafil’ dipilih Nabi tentu memiliki makna yang dalam. Yaitu, mereka yang bukan hanya mendonasi, tapi juga berfungsi sebagai ayah pengganti. Bukan berarti menjadi ayah karena menikahi ibu si anak yatim.
Namun, mereka yang menjadikan dirinya seolah seperti ayah si anak yatim yang sudah tiada. Dan fungsi ayah tentu bukan sekadar soal keuangan saja.
Ayah itu sosok teladan, pelindung di semua keadaan, pendidik ke jalan yang benar, dan teman di saat susah dan senang.
Kalau ada yang menyimpulkan jika anak yatim itu banyak yang bandel, mungkin saja itu benar. Hal ini karena ia tumbuh dengan tanpa sosok-sosok itu tadi. Ada ketidakseimbangan yang begitu besar dalam tumbuh kembangnya.
Cara praktis untuk menyantuni anak yatim dengan baik adalah dengan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri.
Cara ini perlu kedekatan alami. Perhatikanlah di keluarga besar kita, jika ada anak yatim berarti kitalah yang paling bertanggung jawab. Begitu pun di sekitar lingkungan kita: rumah dan lingkungan kerja.
Jika kita mengenal baik ayah ibunya, maka kita akan sangat mudah menyayanginya. Namun hati-hati, jauhi harta anak yatim. Karena ini bisa menjadi penyebab ancaman neraka.
Tanpa perlu mendeklarasi bahwa saya ‘ayah’ atau ‘ibu’ mereka, anak yatim harus merasakan keberadaan kita sebagai ayah dan ibu mereka seperti yang sebenarnya. [Mh]