NAILA Binti Al-Farafishah, seorang gadis Nasrani cantik dari negeri Kufah, berkulit putih, berparas jelita, berfikiran jernih dan berakhlak penuh pesona. Laksana bunga harum lagi mekar yang menjadi incaran “para kumbang”.
Keelokan dan keindahannya telah sampai ke telinga sang khalifah amirul mukminiin Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, maka beliau pun meminang gadis idaman, dan sang khalifah pun menikahinya setelah dia masuk Islam.
Baca Juga: Kisah Istri Solehah Berpuasa di Hari Arafah
Jalan Cinta Naila Binti Al-Farafishah, Istri Perjuang Islam
Terpautnya umur di antara keduanya, seorang khalifah Islam berumur senja, menikahi seorang gadis yang masih belia.
Sebagian riwayat mengatakan umur khalifah 81 tahun sedang umur Nailah masih 18 tahun, sebagian lagi mengatakan umur Utsman 76 tahun sedang umur Nailah 16 tahun. Dan masih ada riwayat lainnya.
Apakah kamu mengira ini pernikahan ala siti nurbaya atau pernikahan yang terpaksa? Tidak, sekali lagi tidak, tapi ini adalah pernikahan karena cinta, pernikahan yang sejarah akan gagal menggoreskan tintanya untuk menulis kisah semisalnya, cinta seorang gadis muslimah dengan seorang ksatria Islam di zamannya.
Di Malam pertama, khalifah menyapa lembut kekasihnya, “Wahai Nailah, kenapa engkau mau menikah dengan lelaki tua seperti aku?”
Nailahpun menjawab, “Aku suka dengan lelaki yang lebih tua.”
Khalifah pun berkata, “Tapi masa tuaku telah melampaui masa tua yang ada.”
Nailahpun menjawab, “Tetapi masa mudamu telah engkau habiskan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dia telah memilih pemilik sepasang mata yang dulu pernah melihat dan bersua dengan Rasulullah, Dia telah memilih lelaki ksatria yang menghabiskan masa mudanya demi membela Nabi yang Mulia.
Biduk pernikahanpun berjalan, Utsman bin Affan diperlakukan dengan penuh cinta dan akhlak yang mulia, Nailah pun dianugrahi oleh Allah keberkahan cinta sang Khalifah.
Hari-hari berjalan, sang Khalifah menaklukkan negeri-negeri kafir, menundukkan dan mengislamkan penduduknya, hingga negeri islam terbentang dari timur hingga ke barat, terbentang dari Marocco hingga ke Azerbaijan.
Semua itu tidak lepas dari peran istri pejuang, istri seorang ksatria yang menemani sang suami dalam suka dan duka. Tentunya setelah taufik dari Rabb semesta alam.
Hingga tibalah hari-hari kelam dalam sejarah islam, muculah ribuan manusia-manusia durjana berkumpul di kota Madinah di saat para sahabat senior beribadah haji di tanah haram.
Kaum munafikin pengikut Abdullah bin Saba’ mengepung rumah sang khalifah, ingin menjatuhkannya dan mengobarkan api revolusi dan melengserkannya dari tampuk kekhalifahan.
Anak-anak shahabat yang kalah jumlah bergegas dan segera menuju rumah Sang Khalifah, menghunuskan pedang dan membela Sang Khalifah, akan tetapi Sang Khalifah memerintahkan mereka untuk pulang dan menyarungkan pedang-pedang mereka.
Hingga akhirnya musuh-musuh itu berhasil mendobrak pintu rumah sang khalifah, sedang sang khalifah dalam keadaan berpuasa lagi khusyu’ melantunkan Al-Qur’an.
Ditemani Nailah sang istri yang tidak sejengkalpun mundur dari menjaga dan melayani Sang Khalifah, Utsman bin Affan.
Hingga takdir Allah berjalan, datanglah musuh masuk ke rumah Sang Khalifah, mengayunkan pedang ke arah tubuh Sang Khalifah yang sedang membaca al-Qur’an.
Maka dengan cepat Nailah maju menangkis mata pedang yang tajam, hingga jari-jari Nailah terputus demi membela suaminya Utsman bin Affan.
Namun apalah daya seorang wanita lemah yang sedang melawan manusia yang penuh dengan amarah dan kebencian, tatkala Utsman melihat Na’ilah belum sempat mengenakan hijab demi membelanya, maka Utsman pun berkata:
“Masuklah ya Na’ilah demi Allah aku terbunuh lebih aku cintai daripada auratmu dilihat oleh manusia-manusia ini.”
Hingga akhirnya gugurlah sang khalifah Utsman bin Affan sebagai martir Islam, darah Nailah bercampur dengan darah syahid sang khalifah.
Madinah pun bergejolak membara, dalam riwayat tiada manusia yang berani mengubur Utsman karena musuh-musuh banyak yang masih berkeliaran, hingga Nailah setia mendampingi jenazah sang suami.
Nailah meminta bantuan Jubair bin Muth’im untuk mengubur jenazah khalifah, tapi karena bergejolaknya Madinah, maka pemakamanpun ditunda hingga waktu malam.
Ketika malam tiba, Nailah membawa lentera bersama Jubair bin Muth’im dan beberapa wanita dan lelaki lainnya, Jubair meminta agar Nailah mematikan lentera agar musuh-musuh tidak mengacaukan pemakaman Sang Khalifah, Utsman dimakamkan sedangkan Nailah diterpa kesedihan yang mendalam.
Sambil mengubur jenazah sang suami, Nailah berkata:
“Ya Utsmaaan.. ya amiral mukminiiinah, bagaimana aku tidak bersedih dengan kepergianmu.”
NAILAH pun memperjuangkan hak Qishas suaminya, Ia mendatangi manusia-manusia di kota Madinah, akan tetapi usahanya tak berbuah. Akhirnya Nailah menulis surat kepada Mu’awiyah selaku Amir negeri Syam dan sebagai keluarga dekat Ustman bin Affan.
Hingga terjadilah apa yang terjadi antara Ali dan Muawiyyah
Waktu terus berjalan, Nailah menjanda ditinggal suami tercinta, hari-harinya dipenuhi dengan kerinduan dengan Sang Khalifah, hingga cinta itu tak usang dimakan zaman tak lapuk dimakan waktu.
Status janda belumlah memudarkan kecantikannya, hingga datanglah lelaki rupawan, bangsawan bahkan bergelar amirul mukminin khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan datang melamar Nailah.
Maka Nailah pun bertanya ke wanita yang ada di dekatnya: “Apa yang membuat lelaki itu tertarik denganku padahal aku adalah seorang wanita janda yang terputus jari-jarinya?”
Wanita itu menjawab, “Gigi serimu.”
Maka Nailahpun memecahkan gigi serinya dan berkata, “Demi Allah aku tak akan pernah mengganti cinta Utsman bin Affan.”
Wanita ini dilamar seorang lelaki yang memiliki dunianya, tapi dia menolaknya dan lebih berharap menjadi istrinya Utsman bin Affan di dunia dan di akhirat. Padahal dia seorang janda yang membutuhkan perlindungan.
Waktu telah berlalu Nailah si cantik ini, senyap dari keramaian, dia mengurus putra-putrinya Utsman, membesarkannya dengan penuh cinta, dan dia tidak menikah lagi hingga ajal menjemputnya. [Ln]