CINTA dan jodoh seperti telur dan ayam. Orang kadang bingung mana yang lebih dahulu.
Semua lajang pasti ingin berjodoh. Nggak enak lah ya sendirian terus seumur hidup. Tapi masalahnya, mana yang baiknya terlebih dahulu: cinta dahulu, atau jodohan dahulu?
Dilema inilah yang kadang membuat muda-mudi zaman now ragu untuk melangkah. Antara menjalin cinta terlebih dahulu atau berjodoh lebih dahulu.
Masalahnya, dua-duanya berujung pada keraguan. Kalau menjalin cinta terlebih dahulu, khawatirnya bisa terperangkap dalam perzinahan. Dan hal itu tentu terlarang dalam agama.
Memang, perzinahan yang dimaksud tidak sampai pada hubungan seksual. Tapi, bukankah saling bersentuhan, saling ‘memadu’ kasih, saling membagi ‘hati’, juga sudah masuk dalam wilayah ‘abu-abu’ tentang jebakan perzinahan?
Karena ayatnya menyebut ‘walaa taqrabuz zina’. Artinya, jangan kalian dekati zina. Jadi, mendekati seperti aktivitas cinta-cintaan tadi sudah masuk dalam taqrabu zina. Dan hal itu sudah dilarang dalam agama.
Namun, kalau jodohan dahulu, apa bisa akan lahir cinta seperti cintanya Romeo dan Juliet? Kalau cocok, kalau nggak cocok gimana? Bukankah akan bisa berakibat fatal seperti terjadinya perceraian dini.
Bercermin tentang Jodoh dan Cinta
Kalau kita ingin bercermin, gunakan cermin yang bening. Dari situ, akan terlihat ada kekurangan apa di wajah kita.
Nah, mengibaratkan fenomena zaman dengan cermin rasanya tidak tepat. Artinya, keraguan apakah jodohan bisa memunculkan rasa cinta, lebih karena kita tercekoki dengan film, cerita, dan fenomena zaman saat ini.
Seolah kelaziman pernikahan yang harmonis harus didahului dengan tumbuhnya rasa cinta kedua insan yang berpasangan. Bukan sebaliknya.
Kalau itu kita jadikan cermin, maka kita akan menjadi ragu. Seolah nasib kita akan rusak seperti yang digambarkan film dan cerita itu.
Padahal, kakek nenek kita dahulu, sudah membuktikannya. Mereka tidak melalui cinta-cintaan seperti yang di film-film. Tapi, jodoh mereka langgeng. Bahkan sangat harmonis.
Kenapa kita tidak bercermin dengan teladan orang-orang soleh. Seperti kisah para Nabi, para sahabat, para salafus soleh atau para ulama.
Tidak ada kisah tentang serunya pacaran seorang ulama besar. Apalagi cinta-cintaan yang dialami masa mudanya para Nabi.
Mereka jodohan melalui proses ‘buta hati’. Artinya, tanpa adanya rasa cinta-cintaan. Baru setelah menikah, proses cinta-cintaan itu tumbuh subur.
Dan kenyataannya, meski begitu banyak tantangan, jodohannya para Nabi, para ulama; berlangsung hingga akhir hayat.
Yang memisahkan jodoh mereka hanya kematian. Bukan karena ada WIL atau PIL. Karena yang menjadi idaman mereka hanya suami atau istri saja.
Lalu bagaimana dengan mereka yang cinta-cintaan dahulu baru jodohan, apakah pernikahannya langgeng?
Lihat saja fenomena kawin cerainya sebagian artis. Senyum-senyum indah di masa pacaran, tapi berkelahi di akhir pernikahan. Tentu bukan ini yang kita inginkan.
Jadi, apa masih ragu: cinta dahulu baru jodohan, atau jodohan dahulu baru cintaan. [Mh]