MATAHARI bersinar terang. Rembulan bercahaya redup. Manakah di antara keduanya yang lebih nyaman dipandang?
Lebih nyaman mana, memandang terangnya matahari atau redupnya cahaya bulan? Jawabannya tentu cahaya bulan.
Memandang yang sangat terang rasanya sangat melelahkan. Silau! Dan memandang cahaya redup begitu mengasyikkan.
Dalam desain interior modern, cahaya redup lebih menjadi pilihan daripada terang. Orang menjadi begitu nyaman hanya menikmati cahaya yang berpendar dari lampu-lampu yang tersembunyi.
Sebagian desain otomotif terbaru juga menjadikan kreasi lampu-lampu redup untuk mempercantik tampilan wajah mobil. Cantik di saat malam dan indah di kala siang.
Begitu pula dalam keseharian hidup kita. Jika diumpamakan terang sebagai eksis, narsis, dan seterusnya; maka redup menjadi sebaliknya: kalem, tenang, dan menyembunyikan kelebihan.
Teman setia yang asyik diajak ngobrol adalah mereka yang lebih suka mendengarkan daripada ‘nyerocos’ seperti petasan jangwe.
Ia begitu bersabar menyembunyikan tentang kelebihan dirinya. Baginya, menyediakan waktu untuk banyak menyimak tentang sahabat jauh lebih menyenangkan daripada mengumbar diri.
Berbeda kala ia menjelaskan tentang sesuatu, maka cahaya yang dipancarkan begitu terang. Sehingga, tak ada kesamaran yang terlihat.
Nabi Shallallahu ‘alalihi wasallam pernah memberikan nasihat. “Siapa yang rendah hati karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya (di dunia dan akhirat). Dan siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya.” (HR. Imam Ibnu Mandah dan Imam Abu Nu’aim)
Jadilah matahari ketika ingin menerangi bumi. Dan jadilah rembulan kala akan menemani sejuknya malam. [Mh]