TERKADANG menjadi pemimpin dan sering aktif di berbagai lembaga malah kadang menjadi diri rawan tuk menerima suudzon –prasangka buruk- dari orang yang tidak begitu mengenal dekat. Dan tiba-tiba gosip telah menyebar hingga akhirnya saya pun mendengarnya.
Pernah ketika seorang wanita memberi kesaksian palsu bahwa saya mencium tiang di Masjidil Haram dan itu masuk dalam bab syirik. Sehingga ketika itu saya dianggap tidak lulus dalam masalah akidah. Entah bagaimana kesaksian itu terus menyebar di lingkungan pekerjaan hingga teman-teman lembaga.
Padahal kejadian yang sesungguhnya ketika umrah, entah tahun berapa, waktu itu memang benar saya mengelus tiang di masjidil haram tapi samasekali tidak menciumnya. Karena yang ada dalam pikiran saya waktu itu adalah, “Ini bahannya apa yaa?”
Baca juga: Bawa Sepatu Jihad
Sejak memulai pembangunan sekolah, saya selalu memikirkan bahan-bahan bangunan sehingga membuat bangunan kokoh dan indah.
Dan yang membuat sedih, gosip yang disebarkan entah oleh siapa baru saya dengar lima tahun kemudian. Sehingga saya tidak dapat mengklarifikasi dan meluruskan.
Bukan hanya sekali, ada beberapa gosip yang akhirnya sampai di telinga saya. Sering kali membuat saya geleng-geleng kepala.
Saya sampai berpikir, ini yang membuat gosip sepertinya orang yang cocok untuk menjadi penulis skenario sinetron. Tapi coba resapi adakah yang senang dengan berita buruk. Terlebih ketika kita tidak melakukannya.
Karena itu, saya hampir tidak pernah membicarakan dan terkadang cuek dengan urusan orang lain. Karena saya tahu sakitnya menjadi objek gosip, sakitnya menjadi objek suudzhon.
Untuk itu, langkah yang saya pilih adalah; dekat dengan orang banyak tapi tidak mau terlalu dekat dengan siapapun kecuali satu orang. Sahabat saya yaitu Ustazah Yoyoh almarhumah.
Rasanya menjadi objek suudzon
Orang-orang yang kenal dekat dengan saya bilang, “Fifi tuh jinak-jinak mepati. Tampaknya dekat karena tulisan dan pesannya ada dimana-mana juga perhatiannya, tapi kalau dicari suka nggak ada.”
Kemudian sebagai pemimpin, kadang kita menjadi teladan, atau setidaknya ada 2-5 orang mengikuti apa yang kita lakukan. Hal ini juga menjadi rawan dari prasangka buruk.
Pernah ada salah satu staf mengajak saya untuk mengunjungi kampungnya. Dia bercerita tentang tempat yang indah, karena dipikirnya saya senang travelling.
Tapi kemudian dia menceritakan kondisi jalan dan tempatnya yang jauh. Dan agar tidak membuat staff saya kecewa atau dia menjadi suudzhon bahwa atasannya sombong tidak mau susah.
Akhirnya saya menceritakan kondisi kaki saya yang memang baru beberapa bulan lalu kecelakaan. Sebenarnya saya tidak ingin cerita karena khawatir juga jadi mengundang perhatian dan prihatin.
Atau tentang saya yang kadang terlihat orang-orang di lingkungan kerja saya lebih sering puasa. Hingga terkadang bukan hanya puanya senin-kamis, ayamul bidh, puasa daud, ini karena saya memiliki alasan tersendiri.
Saya baru hijrah sebelum menikah. Mempelajari Islam dengan kaffah mungkin saat saya telah dewasa. Dan setelah akil baligh sama masih sering tidak puasa, karena kebetulan saya masuk di sekolah Kristen.
Sehingga saya ingin membayar hutang-hutang puasa saya. Hal ini sudah saya tanyakan ada guru dan ustaz yang saya hormati. Tentu ini tidak mutlak harus dikerjakan oleh orang yang mungkin memiliki kasus yang hampir mirip.
Kita mungkin tidak dapat mengendalikan pikiran orang atau selalu berbuat yang disenangi orang. Tetapi saya berprinsip sebisa mungkin tidak menimbulkan prasangka buruk dipikiran orang dengan cara saya.
Wahai saudariku. Hindarilah prasangka buruk.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu mempergunjingkan sebagian yang lain.” (QS. Al Hujurat: 12)
Website: