MENEGUR sahabat yang salah tidak cukup hanya dengan niat baik. Perlu cara yang bijak agar yang ditegur tidak justru malah salah paham.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik ia zalim maupun dizalimi.”
Menolong yang dizalimi tentu sudah jelas, yaitu dengan menolongnya. Tapi menolong yang berbuat zalim bagaimana? Nabi menjelaskan, yaitu dengan melakukan teguran.
Tips berikut ini mungkin bisa menjadi pengayaan agar menegur sahabat yang salah bisa berujung yang baik.
Pertama, pahami apa kesalahan yang dilakukan.
Tidak semua orang yang ingin “meluruskan” sahabat yang salah, memahami betul apa kesalahan yang dilakukan. Memahami di sini berarti tentang duduk perkara secara detil, tidak hanya gambaran umum.
Karena itu ia harus menyelami masalah dengan cara bertanya ke pihak-pihak yang terlibat. Termasuk, kepada si pelaku yaitu sahabatnya sendiri. Pertanyaan kepada si pelaku tentu dengan pijakan baik sangka, bukan sebaliknya.
Kedua, selami masalah dengan utuh.
Ada sebab, ada akibat. Begitu pun dengan latar belakang masalah yang berhasil dikumpulkan. Hal ini agar pandangan terhadap kesalahan menjadi adil.
Contoh, kenapa sahabat tega mencuri. Dengan latar pertimbangan baik sangka, pasti ada sebab yang mengakibatkannya mencuri.
Sebab ini harus diselami dengan utuh dan jelas. Dan tidak cukup hanya dengan kesimpulan umum, meskipun itu diambil dari lebih dari satu orang yang ikut mencermati.
Dengan memperoleh sebab yang jelas, seperti karena terdesak ada anggota keluarga yang sakit keras dan butuh pengobatan dan lainnya; maka meluruskannya pun bisa lebih pas.
Ketiga, tidak perlu memaksa sahabat menerima teguran saat itu juga.
Meskipun sudah memahami perkara dengan utuh, tidak berarti bahwa teguran akan diterima sempurna oleh sahabat.
Dengan begitu, kita tak boleh memaksa sahabat yang ditegur untuk menerima teguran seperti yang diinginkan. Hal ini karena sahabat kita memiliki perasaan atau subjektif lain yang tidak serta merta menerima apa yang ditegurkan.
Dalam hal ini, nasihat seorang ulama mungkin bisa menjadi pengayaan. Yaitu, al-waqtu juz’un minal ‘ilaaj. Waktu merupakan sebagian dari solusi.
Artinya, butuh waktu agar yang ditegur bisa memahami masalahnya. Tentu dengan tidak sambil terus melakukan hal yang sama.
Keempat, jangan tegur di tempat umum.
Tegurlah sahabat secara arif dan bijak. Yaitu, dilakukan dengan “empat mata”. Tidak perlu juga dikabarkan ke orang banyak bahwa sudah dilakukan teguran, termasuk apa reaksinya.
Lebih baik lagi jika teguran dilakukan langsung sebelum orang lain tahu bahwa sahabat kita telah melakukan kesalahan.
Menegur tak perlu harus keras, tak perlu juga harus tegas; yang penting dilakukan dengan penuh kesabaran. Karena perubahan yang terbaik bukan karena takut, tapi karena kesadaran. [Mh]