Oleh: Dr. Anis Byarwati
ChanelMuslim.com – Di era internet sekarang ini, orang bebas mengunggah apapun di media sosial, sehingga ruang publik banyak dibanjiri oleh informasi tak penting, atau oleh pemikiran-pemikiran yang masih mentah dan belum matang. Selain itu, internet juga memberi ruang untuk terjadinya bias informasi.
Matinya Expert dan Berkuasanya Lay people
Expert atau pakar didefinisikan sebagai orang yang punya keahlian di bidang tertentu, dan yang telah teruji. Thomas M. Nichols, Professor di US Naval War College, dalam bukunya, “The Death of Expertise”, mendefinisikan expert harus memenuhi kriteria pengakuan yang diperoleh dari kombinasi pendidikan, bakat, pengalaman, dan afirmasi dari komunitas kepakarannya.
Sementara Lay people atau khalayak umum, atau orang awam, atau bahasa kita: orang kebanyakan, didefinisikan sebagai orang yang tidak punya pengetahuan khusus di bidang tertentu, atau orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam terhadap suatu topik.
Lay people butuh dokter bila sakit, butuh pengacara bila punya masalah hukum, dan butuh pilot untuk mengemudikan pesawat yang ditumpanginya.
Tapi dengan keberlimpahan informasi sekarang ini, orang awam bisa juga menjadi dokter bagi diri sendiri, atau menjadi ahli hukum, atau jadi penerbang dadakan.
Kok bisa? Ya.. berbekal googling atau informasi dari media sosial membuat semua orang merasa menjadi expert.
Padahal sebelum era ini, tak pernah terjadi di sepanjang sejarah, para expert dan lay people berada dalam “satu ruang yang sama” dan bisa langsung berdiskusi dengan “posisi yang sama”
Tapi sekarang, di hadapan kita kondisi ini terjadi.
Para expert dan lay people bertemu di “ruang yang sama” dengan “posisi yang sama”.
Itulah ruang media sosial.
Perhatikan deh.
Di ruang media sosial, posisi menjadi serba tidak jelas: mana yang expert, mana yang awam. Mana yang punya pengetahuan dari pendidikan dan keahliannya, mana yang pengetahuannya hanya mengambil dari google atau dari media sosial.
Tak heran, sekeping informasi di google atau di media sosial, yang kadang tidak diketahui jelas darimana sumbernya, dianggap lebih bisa dipercaya dan lebih valid ketimbang riset-riset yang dilakukan para expert.
Kegandrungan pada literasi instan seperti ini menggejala demikian masif – hingga kepakaran terancam mati. Orang hanya memerlukan informasi tambahan dari media sosial atau internet untuk menguatkan keyakinannya, ketimbang mencari kebenaran pengetahuan itu dari ahlinya.
Para expert di bidang politik, ekonomi, kedokteran, hukum, dan bidang-bidang yang lain, kalah oleh netizen dari kalangan lay people yang merasa lebih expert dari expert itu sendiri.
Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa:
Internet yang dianggap sebagai sumber informasi tanpa batas, yang memberikan pencerahan pada kehidupan manusia, ternyata punya sisi gelap. Ia tidak hanya menciptakan lompatan pengetahuan bagi kebanyakan orang, tetapi juga menjadi sarana yang bisa menyerang pengetahuan yang sudah mapan, serta juga bisa menjadi sumber sekaligus sarana tersebarnya informasi bohong.
Ada ilustrasi menarik. Pada tahun 2014, Washington Post melakukan jajak pendapat dengan seluruh warga, apakah AS harus terlibat dalam intervensi militer setelah Rusia melakukan invasi ke Ukraina. Mayoritas warga AS setuju intervensi. Namun setelah disurvei, hanya satu dari enam dari warga AS yang tahu di mana lokasi negara Ukraina berada..
Aneh ya.[ind]
Catatan Dr. Anis Byarwati dalam akun Facebook-nya pada 14 Maret 2019.