SEORANG Dai harus menampilkan citra diri yang positif dan mempesona yang bisa dinikmati keindahannya dan dicium semerbaknya oleh umat di sekitarnya. Kekuatan argumen dan bagusnya retorika, tidak akan berpengaruh tanpa dibarengi figur keteladanan yang kokoh sang dai. Maka dai harus menerapkan qudwah sebelum dakwah.
Kenyataannya, keteladanan dan aura ruhiyah seorang dai seringkali lebih mengena dihati orang yang berinteraksi dengannya. Ustadz Farid Nu’man Hasan memberikan nasihat bagaimana seorang dai harus menjadi teladan sebelum melakukan dakwah kepada masyarakat di sekitarnya.
Baca Juga: Dakwah Tidak Menunggu Sempurna
Qudwah Sebelum Dakwah
1. Teladan dalam Aqidah dan Iman (keyakinan)
Kebersihan dan kekuatan iman adalah awal dari segala keshalihan. Dai teladan harus lebih dahulu membersihkan aqidahnya dari syirik, khurafat, dan bid’ah, serta menampakkan keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran risalah yang dibawanya. Sebab kotornya aqidah dan lemahnya keyakinan adalah awal dari segala kekalahan perjuangan.
Dalam hal aqidah, seorang dai tidak boleh menampakkan sikap basa-basi apalagi lemah. Sikapnya tegas terhadap semua penyimpangan aqidah, baik paham-paham sesat sekte, atau syirik dan khurafat di masyarakat. Tentu ketegasan yang diekspresikan melalui ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan.
Ada contoh yang baik dalam hal ini, yaitu keteguhan aqidah Imam Ahmad bin Hambal (w. 241H) ketika ia dipenjara dan disiksa selama tiga masa khalifah, lantaran ia menentang dengan keras paham yang menyebutkan bahwa Alquran adalah makhluk.
Menurut Ahlus Sunnah, Alquran adalah firman Allah bukan makhluk sebagaimana paham Mu’tazilah. Sikap tegas Imam Ahmad ini berefek luar biasa setelah ia wafat.
Diriwayatkan bahwa ketika ia wafat, mayatnya diantar oleh delapan ratus ribu laki-laki dan enam puluh ribu wanita, dan kurang lebih dua puluh ribu orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi masuk Islam. (Drs. Fatchur Rahman, Ikhtshar Musthalahul Hadits,hlm. 375)
Begitu pula Said bin Jubair, tokoh ulama masa tabi’in, ia rela disembelih algojo gubernur tiran Al Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Pada saat disembelih, ia mengakhiri hayatnya dengan untaian kata yang indah: “Sedangkan aku, maka aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Muhammad adalah hamba dan rasul Allah, ambillah persaksianku ini sampai engkau berjumpa denganku di hari kiamat. Allahumma ya Allah, jangan Engkau jadikan dia berkuasa kepada seseorang yang membunuhnya sesudahku.” (Wafayat Al A’yan, 2/371)
Ustadzah Zainab Al Ghazaly adalah contoh daiyah mujahidah tegar masa kini. Ketika ia divonis oleh pengadilan Mesir berupa hukuman lima puluh tahun penjara, ia justru teriak lantang, “Allahu Akbar lima puluh tahun fi sabilillah!”
2. Teladan dalam Perilaku (Akhlak)
Tahukah Anda, bahwa manusia lebih banyak mengikuti dan percaya dari apa yang kita lakukan dibanding mengikuti apa yang kita ucapkan. Karena itu, hati-hatilah, perilaku seorang dai adalah hujjah bagi umat yang melihatnya. Maka menjaga keteladanan akhlak adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik (husnul khuluq)” (HR. Abu Ya’la No. 6550, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 428, beliau menshahihkannya.
Al Bazzar No. 8544. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8054. Imam Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya terdapat Abdullah bin Sa’id Al Maqbari, dia dhaif.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/22. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: dhaif jiddan – sangat lemah. Lihat Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6550)
Akhlak yang baik merupakan salah satu tiket menuju surga. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:
“Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.”
Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab:
“Mulut dan kemaluan.”
(HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)
Imam Ibnul Qayyim –rahmatullah ‘alaih– berkata: “Digabungkan keduanya (taqwallah dan husnul khuluq), karena taqwallah memperbaiki apa-apa yang ada pada hamba kepada Tuhannya, sedangkan akhlak yang baik akan memperbaiki hubungan antara hamba dengan makhluk-Nya.” (Bulughul Maram, catatan kaki no. 3, hal. 287. Darul Kutub Al Islamiyah)
Kita tidak menuntut muluk-muluk, bahwa seorang dai wajib memiliki khuluqun ‘azhim misalnya, sebab itu adalah minhah rabbaniyah (anugerah Allah) untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak agung.” (QS. Al Qalam: 4)
Dalam salah satu tafsir dikatakan: “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar memiliki adab yang agung, yang dengannya Tuhanmu telah mendidikmu, yaitu adab Alquran “ (Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hlm. 564. Darul Basya-ir Beirut)
Adapun al Aufi berkata dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki agama yang agung, yaitu Islam.” Seperti itu pula yang dikatakan Mujahid, Abu Malik, As Sudy, Ar Rabi’ bin Anas, Dhahak dan Ibnu Zaid. Berkata ‘Athiyah: “Benar-benar memiliki adab yang agung.”
Berkata Ma’mar dari Qatadah aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Adalah Rasulullah akhlaknya itu Alquran.” Ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’i.(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/403)
Paling tidak, dai memiliki husnul khuluq secara standar yang seharusnya ada pada seorang muslim berakhlak. Itu saja sudah cukup baginya menjadi ‘yang terindah’ di tengah masyarakat yang kosong keteladanan. Tentunya hal itu dicapai dengan perjuangan yang tidak mudah.
Akhlak standar itu sebagaimana yang terpampang dalam Alquran dan As Sunnah adalah menjauhi akhlak tercela seperti hasad, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), su’uz zhan, ghibah, namimah (adu domba), riya’, sum’ah (beramal ingin didengar orang), kibr (sombong), dusta, ingkar janji, khianat amanah, sengit dalam berdebat, mudah marah, mencaci sesama muslim, sumpah palsu, aniaya, memakan harta yang bukan haknya, menghardik anak yatim, dan lain-lain.
Sebaliknya, ia dekat dengan akhlak terpuji seperti menyebarkan salam, memberi makan, sedekah, pemaaf, murah senyum, penyantun, sabar, menjenguk yang sakit dan takziyah kematian, wara’ (hati-hati) terhadap hal yang diharamkan, makruh dan syubhat, tidak berlebihan dengan yang mubah, meninggalkan hal yang melalaikan, menolong dalam hal kebaikan, menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, adil, menyayangi yang kecil, menghormati yang tua, mengetahui hak ulama, menjaga penampilan, bersahabat dengan orang-orang shalih, memuliakan tamu dan tetangga, bicara yang baik atau diam jika tidak bisa, dan lain-lain.
MAJELIS NGAJI TAPOS, DEPOK
[Ind/Ln]