SEBAGAIMANA istri memiliki kewajiban kepada suami dan harus dilaksanakan dengan baik agar hak-hak suami bisa terpenuhi, maka suami juga memiliki kewajiban kepada istri yang harus dilaksanakan dengan baik agar hak-hak istri dapat terpenuhi.
Dengan komitmen masing-masing suami istri dalam melaksanakan kewajiban kepada pasangannya, maka keluarga yang dibangun dapat diwujudkan dengan sakinah mawaddah wa rahmah.
Baca Juga: Antara Hak dan Kewajiban Suami Istri yang Seimbang
Kewajiban Suami kepada Istri yang Harus Dilaksanakan dengan Baik
Adapun kewajiban suami kepada istri sebagai berikut:
1. Melaksanakan peran kepemimpinan sebagai imam bagi keluarga. Suami bertanggung jawab memimpin keluarga dengan cara membimbing dan mengarahkan semua anggota keluarga agar menjadi keluarga yang shaleh yang selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Pelaksanaan tanggung jawab tersebut akan ditanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. ( رواه البخاري)
“Setiap suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggung- jawaban atas yang dipimpinnya”(HR. Bukhari).
2. Menggauli istri dengan baik.
yaitu dengan cara yang layak dan patut disertai dengan adab dan akhlak. misalnya : menggauli istri dengan lembut dan sabar, penuh kasih sayang, memberikan perhatian dan kepedulian, tidak banyak menuntut serta tidak emosional. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوۡهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ( النساء : ١٩)
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.” (An-Nisa: 19)
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ
“Dan mereka (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut”. ( Al-Baqarah: 228)
Bergaul dengan istri dengan cara yang baik wajib dilaksanakan oleh suami, sebab hal itu menjadi bukti keimanannya, sehingga suami yang terbaik bergaulnya dengan istri maka imannya terbaik pula. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أكملُ المؤمنينَ إيمانًا أحسنُهم خُلُقًا، وخيارُكم خيارُكم لأهله”. (رواه أحمد والترمذي)
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baiknya kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya.” (HR. Ahmad dan Timidzi)
3. Memberikan mahar
Mahar memiliki nilai yang sangat penting dalam ikatan pernikahan. Sebab mahar itu mengandung nilai penghormatan dan penghargaan dari seorang suami kepada istri, sebagai bukti cinta dan kasih sayang suami dan simbol perlindungan suami atas hak-hak istri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ
“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4)
4. Memberikan nafkah kepada istri. Suami harus bertanggung jawab atas nafkah istrinya, karena setelah menikah istri itu jadi tertawan (harus taat kepada semua aturan suami) dan ia menjadi halal untuk digauli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقوا اللهَ في النساءِ؛ فإنَّكم أخذتُموهنَّ بأمانةِ الله، واستحلَلْتُم فروجَهنَّ بكلمةِ الله، وإنَّ لكم عليهنَّ ألَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكم أحًدا تكرهونَه، فإنْ فعَلْنَ ذلك فاضرِبوهنَّ ضربًا غيرَ مُبَرِّحٍ، ولهنَّ عليكم رِزقُهنَّ وكِسوتُهنَّ بالمعروفِ. ( رواه مسلم )
“Takutlah kepada Allah mengenai perihal wanita, karena kamu mengambilnya dengan amanah Allah dan kamu memperoleh kehalalan terhadap diri mereka dengan kalimat Allah. Hakmu terhadap diri mereka, ialah mereka tidak memberikan seseorang yang tidak kamu sukai duduk di tempat tidurmu.
Jika mereka berbuat demikian, maka kamu boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak mencederainya, kamu wajib memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang patut”. (HR. Muslim)
Suami itu wajib memberikan nafkah sesuai kemampuannya kepada istri di saat lapang dan susah. Allah berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah sesuai kemampuannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (At-Thalaq: 7)
Nafkah yang wajib diberikan kepada istri mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan kesehatan dan kecantikan, peralatan rumah tangga dan segala sesuatu yang diperlukan agar istri dapat menjalani kehidupan yang layak dan bermartabat.
Suami wajib memberikan nakah kepada istri yang bisa membuatnya tercukupi semua kebutuhannya agar membuatnya senang menjadi istri yang akan terus setia mendampingi suami dan melaksanakan kewajibannya dengan baik terhadap keluarga. Karena itu, apa yang bisa dinikmati oleh suami hendaknya bisa juga dinikmati oleh istri. Allah berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal sesuai kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (At-Thalaq: 6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ولهنَّ عليكم رزقُهن وكِسْوتُهن بالمعروف” (البخاري)
” Kalian wajib memberikan rizki dan pakaian kepada mereka ( para istri ) dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari)
Suami tidak boleh bersikap pelit (kikir) dalam memberikan nafkah kepada istri karena akan menyusahkan hidupnya. Karena itu, ketika Hindun bin Utbah mengadukan Abu Sufyan (suami) yang pelit kepada istri dan anak. Ia bertanya, apakah boleh istri mendapatkah hak nafkahnya dengan cara mengambilnya tanpa sepengetahuan suami? Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خذي من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك . رواه البخاري
“Ambillah sebagian hartanya dengan cara yang patut yang bisa mencukupimu dan anakmu.” (HR. Bukhari)
Adapun syarat yang harus terpenuhi agar istri mendapatkan hak nafkahnya sebagai berikut:
1. Akad nikah harus sah
2. Istri mau berserah diri kepada suami (taat dan mengikuti aturan suami)
3. Istri mau diajak bergaul intim untuk memenuhi kebutuhan seksual suami
4. Istri mau diajak pindah rumah oleh suamiJika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka istri tidak bisa menuntut hak nafkahnya kepada suami
5. Menggembirakan dan membahagiakan istri
Banyak cara untuk menggembirakan istri, misalnya dengan cara tersenyum dan bermuka ceria, mencintai dengan tulus, memanggil dengan nama panggilan yang disukainya, berbicara dengan lembut dan sopan, memberikan hadiah, memberikan perhatian dan apresiasi, peduli atas segala persoalannya.
Selain itu suami juga bisa mengajaknya bercanda, berbincang dengan santai, menghargai dan memuliakan kedudukannya sebagai istri, menghiburnya di saat ia sedih, menghabiskan waktu luang bersama, dan mengutamakan kebutuhannya.
Tak kalah penting suami juga perlu memiliki ide kreatif untuk memberikan suprise di moment yang penting bagi istri, menghargai pendapatnya, mendukung kesukaannya, selalu hadir pada saat dibutuhkan, ikut berpartisipasi dalam aktifitasnya, membantu pekerjaannya, menampakkan antusias dan semangat dalam berbagai kerja sama sebagai pasangan, memuji kelebihannya, meninggikan nilai dan harga dirinya di depan orang banyak, berlapang dada dan memafkan kesalahannya, menghormati keluarganya, tidak membuka aibnya kepada orang lain, tidak menyakiti perasaannya dan tidak memberatkan jiwanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
(رواه الترمذي).
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Suami jangan bersikap gengsi dan merasa harga dirinya rendah jika melakukan hal-hal yang membahagiakan istri. Justru sebalik- nya, suami harus merasa menjadi lebih mulia bahkan lebih mudah dalam membuka jalan rizkinya jika berhasil membahagiakan istri, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
« مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وجلَّ. (رواه مسلم)
“Tidaklah berkurang harta karena sedekah, Tidaklah Allah menambahkan seseorang akan sifat pengampunannya, kecuali ia akan bertambah kemuliaannya. Tidaklah seseorang itu rendah hati kerana Allah kecuali Allah ‘Azza wa jalla angkat derajatnya.” (HR. Muslim)
6. Melakukan hubungan seksual dengan istri
Setelah menikah maka hubungan seksual ( senggama ) antara suami dan istri sudah sah dan halal sesuai firman Allah subhanahu wa ta’ala:
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ و َقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ( البقرة : ٢٢٣)
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk diri Anda sendiri. Bertakwalah kepada Allah.” (Al-Baqarah: 223)
Salah satu tujuan hubungan seksual antar suami dan istri adalah melahirkan generasi penerus untuk kelestarian manusia di dunia dan untuk mewariskan kebaikan agar bumi ini dihuni oleh orang-orang yang baik serta terhindar dari prilaku yang tidak bermoral seperti perzinahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang penyayang lagi peranak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain (pada hari kiamat).” (HR. Abu Daud, Nasaai, Ahmad dan Ibnu Hibban)
Untuk tujuan yang mulia tersebut, maka suami ketika melakukan hubungan intim (senggama) dengan istri itu dianggap oleh Islam sebagai ibadah. Sehingga harus dilakukan dengan ikhlas dan dengan cara yang baik serta sesuai dengan ketetapan syariah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
في بضع احدكم صدقة. قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه وزر؟ فهكذا إذا وضعها في الحلال كان له أجر
” Dan hubungan intim di antara kalian adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa mendatangi istri dengan syahwat (disetubuhi) bisa bernilai pahala?”
Beliau bersabda: “Bagaimana pendapatmu jika ada yang meletakkan syahwat tersebut pada yang haram (berzina) bukankah bernilai dosa? Maka sudah sepantasnya meletakkan syahwat tersebut pada yang halal mendatangkan pahala.” (HR. Muslim)
7. Menjaga kehormatan dan martabat istri
Kehormatan istri itu adalah kehormatan suami juga, sedangkan istri sudah diamanahkan Allah kepada suami untuk dibimbing, dijaga dan dilindungi. Sehinga suami harus bisa menjaga kehormatan dan martabat istri.
Karena itu, istri harus dimuliakan jangan diremehkan dan direndahkan martabatnya. Jangan diejek , jangan dihina baik di tempat sepi maupun di tempat ramai. Jika suami mampu memuliakan istri dan menjaga martabatnya, maka seperti itu pula istri akan memuliakan dan menjaga martabat suaminya.
Ingatlah bahwa salah satu hak istri adalah dimuliakan dan dijaga martabatnya oleh suami, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya apakah hak seorang istri:
أَن تُطْعمَها إِذَا طَعِمْتَ، وتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلا تَضْربِ الْوَجْهَ، وَلا تُقَبِّحْ، وَلا تَهْجُرْ إِلا في الْبَيْتِ. ( رواه أحمد وأبو داود والنسائي)
“Hendaknya kamu memberinya makan ketika kamu makan, dan kamu memberinya pakaian ketika kamu berpakaian, dan kamu tidak memukul mukanya, kamu tidak menjelek- jelekkannya, dan kamu tidak meninggalkan- nya kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai)
Sebagai manusia biasa , maka istri memiliki kekurangan dan keburukan. Maka suami tetap harus bisa menjaga kehormatan dan martabat istri dengan menyimpannya sebagai rahasia keluarga yang tidak diceritakan kepada siapapun.
Suami berkewajiban memperbaikinya bukan menjadikannya sebagai perbincangan bagi masyarakat umum agar tetap terjaga kemuliaan dan kehormatannya.
Suami itu bertanggung jawab kepada kehormatan istri di dunia dan di akhirat. Sehingga suami harus bisa membimbing istri untuk menjadi istri yang shalihah, taat kepada agama, bersikap baik dan lurus, hidup dan berteman dalam lingkungan yang baik, menjauhi fitnah dan dosa , sehingga tetap terjaga kehormatannya dan tidak terhina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. (رواه البخاري)
“Dan suami itu adalah pemimpin kepada keluarga -nya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
View this post on Instagram