ChanelMuslim.com – Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izin bertanya, Bunda Rosa. Bagaimana hukum di Indonesia mengatur pernikahan dini?
Oleh: Rosalita Chandra, S.H, M.H.
Jawaban:
Batas usia minimal untuk calon suami istri yang hendak menikah diatur dalam UU No 16 Tahun 2019. UU ini tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu pada Pasal 7 sebagai berikut:
Baca juga: Perlukah Perjanjian Pranikah Sebelum Ijab Kabul?
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orangtua pihak pria dan/atau orangtua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan atau pernikahan dini.
(4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orangtua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Penjelasan Ayat (2):
Yang dimaksud dengan ‘penyimpangan’ adalah hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orangtua dari salah satu atau kedua belah pihak dari calon mempelai kepada Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya, apabila pihak pria dan wanita berumur di bawah 19 (sembilan belas) tahun.
Ada juga yang dimaksud dengan ‘alasan sangat mendesak’ adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan.
Yang dimaksud dengan ‘bukti-bukti pendukung yang cukup’ adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.
Kemudian untuk memastikan terlaksananya ketentuan ini, Pemerintah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat mengenai pencegahan perkawinan usia dini atau pernikahan dini, bahaya seks bebas dan perkawinan tidak tercatat demi terwujudnya generasi bangsa yang lebih unggul.
Penjelasan Ayat (3):
Pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.
Baca juga: Nikah Siri di Tengah Pandemi Bukan Solusi
Adapun ketentuan Pasal 6 yang dimaksud yaitu sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau dari orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan dini atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Baca juga: Kewajiban Menafkahi Anak dalam Pernikahan Siri
Perubahan Usia Perkawinan
UU No 16 Tahun 2019 telah secara khusus mengubah ketentuan Pasal 7 mengenai batas usia untuk dapat melakukan perkawinan dini berdasarkan pada pertimbangan hukum sebagai berikut:
- Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22IPUU-XV/2017 yang mengamanatkan untuk menaikkan batas minimal umur perkawinan. Terutama bagi wanita sama dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.
Sebelum ada perubahan pada UU No 16 Tahun 2019. Batas usia pria dan wanita untuk dapat melakukan perkawinan berbeda. Sebagaimana diatur pada Pasal 7 UU No 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain. Yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua. Sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini. Berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi. Tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Kesimpulan
Dengan adanya perubahan batas usia minimal untuk melakukan perkawinan atau pernikahan dini bagi pria dan wanita yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Maka calon suami istri tersebut dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Tujuannya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin.
Akibatnya laju kelahiran lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak. Sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orangtua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.
[Wnd]