ChanelMuslim.com – Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izin bertanya, Bunda Rosa. Kalau saya menikah siri lalu memiliki anak, tapi suami saya mulai lalai dengan kewajibannya menafkahi anak kami, jalur hukum apa yang bisa saya lakukan?
Oleh: Rosalita Chandra, S.H, M.H.
Jawaban:
Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama namun tidak dilakukan di hadapan pegawai pemerintah yang berwenang. Kemudian tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama dikenal dengan istilah nikah siri atau nikah di bawah tangan.
Pernikahan siri juga kerap diistilahkan dengan perkawinan yang tidak sah. Sehingga menimbulkan status istri tidak sah dan anak tidak sah. Saya sendiri lebih menyukai untuk menggunakan istilah ‘perkawinan yang belum tercatat secara hukum’.
Baca juga: Perlukah Perjanjian Pranikah Sebelum Ijab Kabul?
Pernikahan dalam Hukum
Hal ini berdasarkan pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019.
Pasal 2
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Kompilasi Hukum Islam
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Konsekuensi Nikah Siri
Setidaknya ada tiga konsekuensi yang perlu menjadi perhatian bagi orang yang akan melakukan pernikahan siri atau perkawinan yang belum tercatat secara hukum.
1. Pertanggungjawaban di hadapan Allah
Sepanjang syarat dan rukun nikah terpenuhi maka pernikahan tersebut tetap sah menurut hukum Islam. Sehingga suami istri terikat menjalankan segala hak dan kewajibannya berdasarkan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hal tersebut tentu akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Tidak ada pernikahan di mata hukum
Walaupun pernikahan siri sah menurut hukum Islam sebagaimana diuraikan di atas. Namun jika tidak dicatatkan kepada petugas pencatat nikah yang berwenang di Kantor Urusan Agama, maka menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, pernikahan tersebut akan dipandang tidak pernah ada.
Oleh karenanya tidak diakui secara hukum. Hal ini berakibat pada status suami, istri dan anak-anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri. Jika pernikahannya saja dianggap tidak ada, maka status dan hubungan hukum antara suami istri dan anak-anak juga tidak dapat saling berkait.
Sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam pernikahan siri.
3. Kedudukan anak sebagai anak luar kawin
Konsekuensi yang menurut pandangan saya paling berat dan paling merugikan, yang berlaku terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri. Kedudukan anak-anak tersebut akan dipandang sebagai anak tidak sah atau anak luar kawin.
Anak tersebut hanya memiliki keterikatan dan hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya saja. Tidak dengan ayahnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019 sebagai berikut:
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
1. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagaimana Kewajiban Menafkahi Anak Hasil Nikah Siri?
Ada beban moral yang harus ditanggung oleh anak-anak akibat pernikahan siri orangtuanya dengan label anak tidak sah atau anak luar kawin tersebut. Sehingga menurut saya lebih baik menggunakan istilah ‘anak biologis, anak kandung atau anak yang diakui’.
Terkait dengan pertanyaan Ibu tentang kewajiban menafkahi, demi kepentingan terbaik anak, sebaiknya Ibu segera melakukan upaya hukum dengan mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Itsbat nikah adalah upaya pengajuan permohonan kepada negara agar mengakui pernikahan yang telah dilakukan sebelumnya tanpa kehadiran petugas pencatat nikah yang berwenang.
Tujuannya agar pernikahan tersebut dapat tercatat dan sah sesuai peraturan perundangan. Dengan demikian status ibu dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri akan menjadi istri dan anak yang sah di hadapan hukum.
Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh
Dengan status sebagai istri dan anak yang sah menurut hukum, Ibu dapat juga melibatkan peran keluarga besar, untuk terlebih dulu mengingatkan adanya kewajiban suami untuk menafkahi anak yang diamanatkan oleh peraturan perundangan sebagai berikut:
UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019
Pasal 45
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 80 Ayat 4
4. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
- nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
- biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
- biaya pendididkan bagi anak.
Berdasarkan ketentuan tersebut memang tidak ada sanksi hukum yang tegas jika suami tetap melalaikan kewajibannya. Maka jika upaya melalui keluarga besar tidak berhasil, Ibu dapat mengajukan aduan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Pusat aduan ini bisa dicari di wilayah tempat tinggal Ibu untuk mendapatkan bantuan dan pendampingan lebih lanjut.
Dari sisi hukum yang lain, menurut pendapat saya, perbuatan tidak menafkahi anak, dapat diklasifikasikan sebagai tindakan penelantaran anak yang diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:
Pasal 9 Ayat 1
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
- menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
- pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
- penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Kesimpulan Kewajiban Menafkahi
Namun jika Ibu memilih untuk melaporkan dugaan tindak pidana penelantaran anak, pastikan bahwa upaya hukum ini merupakan jalan terakhir yang tidak dapat lagi dihindari.
Sebab poin pentingnya adalah berfokus pada terpenuhinya nafkah anak semata-mata demi kepentingan terbaiknya. Bukan tercapainya penjatuhan sanksi pidana bagi ayahnya sebagai pembalasan atau penjeraan atas tidak dipenuhinya nafkah anak.
Oleh karena itu, saya selalu mendorong setiap ibu untuk dapat berdiri di atas kakinya sendiri dan memiliki kemampuan untuk menafkahi anak-anaknya.
Sebab kita tidak tahu situasi yang akan terjadi di masa depan. Dan karenanya yakini juga bahwa rejeki suatu keluarga dimungkinkan hadir melalui tangan istri dan ibu. Kita kuat, kita pasti mampu, insyaaAllah. [Wnd]