USTAZ, bagaimana hukum meninggikan tanah timbunan kuburan dengan tanah timbunan yang melebihi sejengkal apakah dibolehkan? (Hakiki)
Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S., M.Ikom. menjelaskan bahwa meninggikan tanah kubur dibolehkan setinggi satu jengkal, tidak melebihinya.
Dalilnya hadits Imam al-Baihaqi, berikut ini:
عَنْ جَابِرٍ:أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ.
“Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu: Bahwasanya Nabi Shallallahu ”Alaihi Wa Sallam kuburannya telah ditinggikan dari bumi sekitar satu jengkal.” (HR. al-Baihaqi, as Sunan al Kubra, 4/134)
Dalam hadis riwayat Imam Ibnu Hibban juga dari sahabat Jabir Radhiallahu ‘Anhu telah disebutkan dengan lafazh berikut ini:
…وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ. رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ.
“…dan kuburannya telah ditinggikan dari bumi sekitar satu jengkal.”
(HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 6635. Dengan dimasukkannya hadits ini dalam Shahih Ibni Hibban, maka menurut Imam Ibnu HIbban hadis ini shahih.
Sedangkan pentahqiq Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arnauth mengatakan: hasan (Ta’liq Musnad Ahmad, Jld. 39, hlm. 360)
Baca juga: Hukum Mengazankan Bayi yang Baru Lahir
Hukum Meninggikan Tanah Timbunan Kuburan
Imam Syafi’i menyukai kalau tanah yang berada di atas kuburannya itu dicukupkan dengan tanah hasil galiannya saja, tidak ditambah dengan tanah yang diambil dari lokasi lain.
Dalam kitab Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq telah mensitir perkataan Imam Syafi’i- Rahimahullah- sebagai berikut :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ فِى الْقَبْرِ تُرَابٌ مِنْ غَيْرِهِ.
“Imam Syafi’i telah berkata: Dan saya menyukai kuburan itu tidak ditambah tanahnya dari tanah yang lainnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/462)
Namun, dalam Mazhab Syafi’i walau tanah kubur ditinggikan satu jengkal, menurut mereka tanah bagian yang ditinggikan itu tetap dibuat datar (rata), bukan munjung (gembung).
Sebagai dalilnya, Imam Syafi’i dalam kitabnya, al-Umm, mengatakan:
وَيُسْطَحُ الْقَبْرُ وَكَذٰلِكَ بَلَغَنَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أنَّهُ سَطَحَ قَبْرَإِبْرَاهِيْمَ ابْنِهِ.
“Dan hendaknya kuburan itu didatarkan, yang demikian itu karena telah sampai kepada kami sebuah riwayat hadis dari Nabi Shallallahu ”Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau telah mendatarkan kuburan putranya yang bernama Ibrahim.” (Al-Umm, 1/242)
Imam Nawawi juga telah berkata:
تَسْطِيْحُ الْقَبْرِ وَتَسْنِيْمُهُ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ؟ فِيْهِ وَجْهَانِ (اَلصَّحِيْحُ) التَّسْطِيْحُ أَفْضَلُ وَهُوَ نَصُّ الشَّافِعِيُّ فِى الْأُمِّ وَمُخْتَصَرُ الْمُزَنِّى.
“Mengenai mendatarkan kuburan (tasthih) dan memunjungkannya (tasnim), mana yang lebih utama dari keduanya? Dalam hal ini ada dua pendapat, namun menurut pendapat yang shahih,
mendatarkan kuburan itu yang lebih utama, dan dia itu adalah merupakan perkataan Imam Syafi’i yang telah jelas dalam kitab, al-Umm dan kitab, Mukhtashar al-Muzanni.” (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 5/297)
Imam Abu Abdillah ad-Dimasyqi dalam kitabnya, Rahmah al-Ummah, juga telah berkata:
وَالسُّنَّةُ فِى الْقَبْرِ اَلتَّسْطِيْحُ وَهُوَ أَوْلَى عَلَى الرَّاجِحِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ.
“Dan sunnahnya kuburan itu didatarkan, dan itulah yang lebih utama sesuai dengan fatwa yang unggul dari madzhab Syafi’i.” (Rahmah Al-Ummah, hal. 59)
Demikianlah dalam mazhab Syafi’i. Sedangkan Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Ats-Tsauri mengatakan; sunahnya adalah tasnim (dibuat menggembung-munjung tengahnya).
(Ibnu al-Atsir, Asy-Syafi fi Syarh Musnad asy-Syafi’i, Jld. 2, hlm. 419). Demikian. Wallahu a’lam.[ind]