ChanelMuslim.com – Puasa Sunah ‘Asyura (Bag. 3-tamat), Oleh: Ustadz Farid Nu’ man Hasan
Tidak sedikit manusia bertanya, bagaimanakah puasa sunah ‘Asyura itu? Dan kapankah pelaksanaannya? Berikut penjelasannya.
Kapankah Pelaksanaannya?
Terjadi perselisihan pendapat para ulama.
1. Pihak yang mengatakan 9 Muharam (Ini diistilahkan oleh sebagian ulama hari tasu’a).
Dari Al Hakam bin Al A’raj, dia berkata kepada Ibnu Abbas:
“Kabarkan kepada aku tentang puasa ‘Asyura.” Ibnu Abbas berkata: “Jika kau melihat hilal Muharram, hitunglah dan jadikan hari ke-9 adalah berpuasa.” Aku berkata; “Demikiankah puasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?” Ibnu Abbas menjawab: “Ya.” (HR. Muslim No. 1133, Ahmad No. 2135)
Baca Juga: Puasa Sunah ‘Asyura (Bag. 2)
Puasa Sunah ‘Asyura (Bag. 3-tamat)
Juga dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan dia memerintahkan manusia untuk berpuasa pada hari itu, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani ….,” Maka dia bersabda: “Jika datang tahun yang akan datang – Insya Allah- kita akan berpuasa pada hari ke-9.” Ibnu Abbas berkata: “Sebelum datangnya tahun yang akan datang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat.” (HR. Muslim No. 1134 dan Abu Daud No. 2445)
Sementara dalam lafaz lainnya:
“Jika saya benar-benar masih sehat sampai tahun depan, maka saya akan berpuasa pada hari ke-9.” (HR. Muslim No. 1134. Ibnu Majah No. 1736. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 8185. Ahmad No. 1971)
Dalam Shahih Muslim disebutkan tentang puasa hari ke-9:
“Dalam riwayat Abu Bakar, dia berkata: yakni hari ‘Asyura.” (HR. Muslim No. 1134)
Dari Ibnu Abbas secara marfu’:
“Jika saya masih hidup sampai tahun depan, saya akan berpuasa pada hari ke -9, yakni ‘Asyura.” (HR. Ahmad No. 2106, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya qawwi. Musnad Ibnu Al Ja’d No. 2827)
2. Pihak yang mengatakan 10 Muharam, dan ini pendapat mayoritas ulama. Puasa ‘Asyura, sesuai asal katanya – al ‘asyr – yang berarti sepuluh.
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
“Telah berselisih pendapat para ahli syariat tentang waktu spesifiknya, kebanyakan mengatakan adalah hari ke sepuluh. Berkata Al Qurthubi ‘Asyura disetarakan dengan kesepuluh untuk menguatkan dan mengagungkannya. Pada asalnya dia adalah sifat bagi malam yang ke sepuluh, karena dia ambil dari kata al ‘asyr (sepuluh).” (Fathul Bari, 6/280)
Lalu beliau melanjutkan:
“Oleh karena itu, hari ‘Asyura adalah ke sepuluh, inilah pendapat Al Khalil dan lainnya. Berkata Az Zain bin Al Munir, “ mayoritas mengatakan bahwa ‘Asyura adalah hari ke 10 dari bulan Allah, Al Muharram. (Ibid)
Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Kami diperintahkan puasa ‘Asyura oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hari ke sepuluh.” (HR. At Tirmidzi No. 755, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 755)
Lalu, bagaimana dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak yang mengatakan ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharam?
Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan: “Zahirnya hadits ini menunjukkan hari ‘Asyura adalah hari ke-9, tetapi berkata Az Zain bin Al Munir: “Sabdanya jika datang hari ke sembilan” maka jadikanlah kesepuluh, dengan maksud yang kesepuluh karena janganlah seseorang berpuasa pada hari ke-9 kecuali setelah berniat pada malam yang akan datang yaitu malam ke sepuluh.” Lalu beliau mengatakan:
“Aku berkata: yang menguatkan tafsiran ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim juga dari jalan lain, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “jika saya masih ada sampai tahun depan saya akan berpuasa pada hari ke-9, dan dia wafat sebelum itu.” Pada zahir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ke-10, dan meraka diperintah melakukannya pada hari ke-9 dan dia wafat sebelum itu. Kemudian apa yang mereka lakukan berupa puasa hari ke-9, tidaklah bermakna membatasi, bahkan menambahkan hingga hari ke -10, baik karena kehati-hatian, atau demi untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nasrani. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Ibid)
Sebenarnya kelompok ini tidaklah mengingkari puasa hari ke-9. Beliau mengutip dari para ulama:
“Berkata sebagian ulama: Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahih Muslim: Jika aku masih hidup sampai tahun depan maka aku akan berpuasa pada hari ke -9” bermakna dua hal; Pertama, yaitu perubahan dari hari ke-10 menjadi ke-9. Kedua, yaitu puasanya ditambahkan, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keburu meninggal sebelum menjelaskan hal itu, maka demi kehati-hatian puasa tersebut ada dua hari.” (Ibid)
Berkata Ibnu Abbas secara mauquf:
“Berpuasalah pada hari ke-9 dan 10 dan berselisihlah dengan Yahudi.” (HR. Ahmad No. 3213, sanadnya shahih mauquf/sampai Ibnu Abbas saja)
3. Pihak yang mengatakan puasa ‘Asyura itu adalah 9, 10, dan 11 Muharam.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis dalam kitab Fiqhus Sunnah sebuah sub bab berjudul :
“Puasa Muharam dan ditekankan puasa ‘Asyura, dan Puasa sehari sebelumnya, serta sehari sesudahnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/450. Darul Kitab ‘Arabi)
Sama dengan kelompok kedua, hal ini demi kehati-hatian agar tidak menyerupai puasa Yahudi yang mereka lakukan pada hari ke-10, sebagai perayaan mereka atas bebasnya Nabi Musa ‘Alaihissalam dan bani Israel dari kejaran musuhnya.
Dalilnya adalah dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Ahuma secara marfu’:
“Puasalah pada hari ‘Asyura dan berselisihlah dengan Yahudi, dan berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad No. 2154, namun Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan sanadnya dhaif)
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada:
“Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan: 1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10). 2. Puasa hari ke-9 dan ke-10. 3. Paling tinggi puasa hari ke-9, 10, dan ke-11. Wallahu A’lam” (Ibid. lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/450)
Wallahu A’lam
(ind)