ISLAM memberikan panduan bagaimana tata cara mandi wajib atau mandi besar yang disebut juga mandi janabah. Ustaz Farid Numan Hasan menjelaskan sebagai berikut.
Tata cara Mandi Wajib atau Mandi Besar dalam Islam
Niat
Niat ini sangat penting karena posisinya sebagai pembeda antara mandi biasa untuk bersih-bersih dan kesegaran tubuh, atau mandi janabah.[1]
Mayoritas ulama mengatakan niat adalah fardhu (wajib) saat wudhu, tanpa niat mandi janabah tidak sah, sebagaimana ditegaskan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambaliyah), berdasarkan hadis:
“amal itu berdaskan niat”. Ada pun Hanafiyah mengatakan sunnah.[2]
Menurut Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, bagi Hambaliyah niat itu syarat sahnya mandi, bukan fardhu.[3] Semua ulama sepakat niat itu di hati, dan itu sudah cukup.[4]
Ada pun melafazkan niat itu bukan syarat sahnya, namun itu sunnah menurut mayoritas ulama kecuali Malikiyah.[5]
Baca Juga: Sekali Mandi Wajib untuk Junub dan Haid Sekaligus
Tasmiyah (Membaca Bismillah)
Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan bahwa hal ini sunnah berdasarkan hadits-hadits tentang tentang itu.
Pada dasarnya hadisnya dhaif, tapi jika dikumpulkan semua jalurnya hadits tersebut menjadi kuat. Mengawali dengan bismillah adalah hal yang baik dan pada dasarnya dianjurkan dalam mengawali kebaikan apa pun.[6]
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali Malikiyah yang mengatakan makruh dan tidak disyariatkan, dan Hambaliyah yang mengatakan wajib.[7]
Cuci tangan sebanyak tiga kali
Ini dilakukan di awal sebelum mandi dan disepakati kesunnahannya oleh semua ulama.[8] Ini berdasarkan hadits Maimunah Radhiallahu ‘Anha:
“Aku letakkan air untuk mandi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mandi, Beliau mencuci tangannya dua atau tiga kali ..” [9]
Juga hadis Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau bercerita: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak mandi janabah Beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya sebelum memasukkan tangannya ke bejana…” [10]
Mencuci kemaluan (cebok)
Hal ini berdasarkan hadis Maimunah sebelumnya: “Lalu Beliau memenuhi tangan kirinya dengan air dan mencuci kemaluannya.” [11]
Bagi Hanafiyah ini adalah sunnah, Malikiyah mengatakan mandub (anjuran), sementara Syafi’iyah dan Hambaliyah mengatakan ini adalah sempurnanya mandi janabah.[12]
Wudhu seperti wudhu shalat
Hal ini berdasarkan hadis Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Lalu Beliau wudhu sebagaimana wudhunya shalat.” [13]
Mayoritas ahli fiqih mengatakan wudhu ini sunnah secara tuntas. Tapi, mereka berbeda pendapat tentang apakah mencuci kaki wudhu diakhirkan pada akhir mandi, ataukah saat akhir wudhu.
Menurut Hanafiyah, dan yang lebih shahih dari Syafi’iyah, serta yang resmi dari Hambaliyah, kaki dicuci berbarengan dengan wudhu tersebut, tidak diakhirkan pada akhir mandi.
Ada pun salah satu pendapat Hanafiyah dan pendapat resmi Malikiyah hendaknya mencuci kaki diakhirkan.[14]
Baca Juga: Inilah yang Mewajibkan Seorang Muslim Untuk Mandi Besar
Meratakan air ke seluruh tubuh, rambut dan bulu tubuh, dan kulit
Ini adalah wajib dan disepakati semua ulama, [15] tanpa hal ini, maka mandi janabah tidak sah. Seperti sela jari jemari tangan dan kaki, lekukan tubuh, dan rambut sampai akarnya.
Hal ini berdasarkan lanjutan hadis Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas:
“Kemudian Beliau memasukkan tangannya ke air, lalu jari jemarinya membersihkan dan menyelah rambutnya sampai dasarnya, lalu mengguyur kepalanya dengan air sepenuh dua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu mengguyurkan air ke seluruh kulit tubuhnya.”
Saat mengguyur memulai dari tubuh bagian kanan
Tata cara mandi wajib berikutnya yakni mengguyur bagian tubuh mulai dari sebelah kanan, hal ini disepakati kesunnahannya.[16]
Berdasarkan hadis Asyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyukai dalam hal apa pun memulainya dari kanan, seperti menyisir, memakai sendal, bersuci, dan lainnya.[17]
Saat mengguyur memulai dari tubuh bagian atas
Ini juga sunnah menurut Syafi’iyah, dan Malikiyah mengatakan anjuran.[18] Mulai dari kepala, leher, bahu, dada, perut, terus sampai kaki.
Mengulang tiga kali pada masing-masing bagian
Ini juga sunnah menurut umumnya mazhab, baik Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hambaliyah. Sedangkan Malikiyah mengatakan mandub (anjuran). [19]
Istilah mandub, sunnah, nafilah, mustahab, dan tathawwu’, adalah sama saja menurut Syafi’iyyah dan Hambaliyah.
Baca Juga: Menyentuh Kemaluan Saat Mandi Wajib
Beberapa catatan:
– Dalam mandi wajib, ada cara minimalis yaitu sekadar niat dan meratakan air ke seluruh tubuh, kulit, dan bulu badan. Ini sudah ijza (cukup dan sah).
Lalu cara sempurna yaitu menjalankan wajib, sunnah-sunnah, dan adab-adabnya.[20]
– Memakai shampo (keramas) bukanlah syarat, rukun, atau wajib, dalam mandi. Tapi, itu penyempurna saja, sebagai pembersih. Tidak dipakai tidak masalah.
Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan memakai as Sidr (daun bidara) sebagai pembersih saat mandi,
“Hendaknya kalian mengambil air buat mandi, daun Sidr, dan bersuci sebaik-baiknya, tuangkan air ke kepalanya, lalu gosok kuat-kuat sampai ke dasar rambutnya.” [21]
– Khusus buat wanita, mandi karena junub (yaitu sebab jimak dan mimpi basah) tidak mesti membuka ikatan atau kepang rambutnya, yang penting bisa dipastikan air sampai ke bagian dasar rambutnya.
Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, “Wahai Rasul, aku ini wanita yang mengikat rambut begitu kuat, apakah mesti dibuka saat mandi janabah?”
Beliau bersabda: “Tidak, cukuplah bagimu menuangkan air di atas kepalamu tiga kali, lalu siramkan air di atas tubuhmu, maka kamu pun suci.” [22]
Ini adalah pendapat umumnya ulama, bahwa ikat atau gulungan rambut tidak mesti dibuka saat mandi janabah.[23]
Ada pun mandi karena nifas dan haid, wajib dibuka menurut mayoritas ulama sebagaimana hadis Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas.
Sebagian mengatakan tidak wajib, tapi sunnah saja. Perbedaan ini karena kondisi junub lebih sering dibanding haid dan nifas.
Tentunya akan berat bagi wanita jika membuka ikatan rambutnya dan membasahinya terlalu sering.
Demikian penjelasan tata cara mandi wajib. Wallahu a’lam.[ind]
Catatan kaki:
[1] Imam Ibnu Rajab, Jami’ al ‘ulum wa al hikam (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2019), hlm. 11
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 31, hlm. 207
[3] Syaikh Abdul Wabah Khalaf, Al Fiqhu ‘ala al Madzahib al Arba’ah (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2014), hlm. 105
[4] Imam Ibnu Hajar al Haitami, Tuhfah al Muhtaj (Mesir: Maktabah at Tijariyah al Kubra, 1983), juz. 2, hlm. 12
[5] Syaikh Wahbah az Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al Fikr), juz. 1, hlm. 163
[6] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah (Beirut: Dar al Kitab al Arabi, 1977), Juz. 1, hlm. 45
[7] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 43, hlm. 357-358
[8] Ibid, juz. 31, hlm. 213
[9] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Ghusl, Bab al Ghusl Marrah Wahidah (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 257
[10] Ibid, Kitab al Ghusl, Bab al Wudhu Qabla al Ghusl, no hadits. 248
[11] Imam al Bukhari, loc. cit.
[12] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 31, hlm. 213
[13] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Ghusl, Bab al Wudhu Qabla al Ghusl (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 248
[14] Al Mausu’ah, op cit. Juz. 31, hlm. 214
[15] Ibid, juz. 31, hlm. 207
[16] Al Mausu’ah, loc cit.
[17] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Wudhu, Bab at Tayammun fi al Wudhu wa al Ghusl (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 168
[18] Al Mausu’ah, op cit. Juz. 31, hlm. 215
[19] Ibid
[20] Ibid, juz. 31, hlm. 217
[21] Imam Muslim, Jami’ ash Shahih, Kitab al Haidh, Bab Istihbab Isti’mal al Mughtasilah min al Haidh Firshah min Miski fi Maudhi’ ad Dam (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no. 332
[22] Ibid, Bab Hukmi Dhafair al Mughtasilah, no. 330
[23] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 26, hlm. 106