KETIKA suami melakukan poligami, istri tidak boleh menuntut untuk menceraikan madunya. Allah telah memberikan peluang kepada seorang laki-laki untuk berpoligami sampai empat orang istri.
Seorang istri harus menyadari bahwa istri-istri suaminya yang lain pun mempunyai hak terhadap suaminya sama seperti hak dirinya terhadap suami.
Oleh karena itu, tidak ada hak bagi dirinya menyuruh suami mengurangi hak-hak mereka, apalagi menceraikan madunya.
Dikutip dari 20 Kekhilafan Istri, Majalah Aulia No.5 Tahun XII Safar – Rabiul Awal 1436, jika hal ini dilakukan istri, berarti ia telah merampas hak madunya sekaligus durhaka terhadap suaminya yang memiliki hak untuk berpoligami.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang… dan seorang wanita tidak boleh meminta suaminya menceraikan madunya supaya berkecukupan tempat makannya (nafkahnya).” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
Jika istri merasa tidak tentram dan penuh kekhawatiran kalau-kalau madunya mendapat fasilitas lebih banyak segala hal dari suaminya, ia boleh mengajukan tuntutan itu kepada suaminya dan melakukan penyelidikan tentang benar tidaknya kecurigaannya.
Jika benar, dia mempunyai hak untuk mengajukan kasusnya ke pengadilan agama sehingga persoalannya dapat diselesaikan dengan cara yang adil.
Baca juga: Poligami tanpa Sepengetahuan Istri Pertama
Suami Poligami, Istri Tidak Boleh Meminta Untuk Menceraikan Madunya
Sementara itu, menurut Ustaz Farid Nu’man Hasan, setiap muslim dituntut untuk taslim, menerima dengan tulus, apa-apa yang berasal dari syariat; baik dalam yang hal yang disukai (thaw’an) dan tidak disukai (karhan).
Jika dia hanya menerima yang enak-enak saja, tapi menolak yang tidak enak menurut hawa nafsu dan emosinya, maka tidaklah dia dikatakan sempurna keimanannya.
Jika hawa nafsu telah menjadi Tuhannya, dia rela mengatakan “Biarlah dibilang kafir dan tidak taat, yang penting keinginan atau ketidakinginanku terpenuhi.”
Padahal setelah matinya, hawa nafsu akan menjadi musuhnya, syetan pun tidak bisa menolongnya, tapi kepatuhanlah yang menjadi teman sejatinya.
Ada dua syariat yang menjadi momok bagi umat Islam sendiri. Ayat Jihad di mata kaum laki-laki, dan ayat Poligami di mata kaum wanita.
Dua jenis ayat ini seakan menjadi batu ujian bagi ketundukan kepada syariat dan kepahaman kita terhadap qadha dan qadar.
Bagi laki-laki, seolah Jihad membuat umur pasti pendek, sehingga tidak lagi bisa menikmati dunia. Padahal tidak jihad pun banyak manusia yang berusia pendek.
Sebaliknya, betapa banyak veteran jihad hidup sampai tua. Karena memang usia manusia, ajal, di bawah kuasa Allah Ta’ala.
Bagi wanita, seolah poligami merampas ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.
Padahal sejak usia kandungan empat bulan di perut ibunya, seluruh manusia sudah ditetapkan bahagia dan sengsaranya. Gerak kitalah nanti yang meraih atau menjauhinya.
Baca Juga: Hukum Beri Syarat Menikah: Tidak Boleh Poligami
Syariat Tidak ada yang Sia-sia
Poligami adalah salah satu item dalam syariat ini yang sering dijadikan objek serangan kaum munafiqin, baik kalangan liberal, feminis, juga tentunya orang-orang kafir.
Dan, hasilnya, sebagian muslimah pun ikut-ikutan benci sampai ke ubun-ubun dengan poligami.
Awalnya membenci oknum pelaku poligami yang gagal dan zalim (tentunya semua tidak ada yang menyukai itu), lama-lama membenci syariat poligami itu sendiri.
Lalu reaksinya bagaikan singa jika ada tema poligami baik di FB, WA, dan lainnya.
Pelan, halus, tanpa sadar.. Orang ini terseret menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya, setelah memusuhi syariat-Nya.
Syariat tidak ada yang sia-sia. Syariat jihad itu selalu ada walau sebagian laki-laki membencinya (yang berbeda adalah bagaimana bentuk jihadnya).
Sebagaimana syariat poligami juga selalu ada walau sebagian wanita membencinya, bahkan wanita yang katanya sudah rajin ikut kajian pun ikut membencinya.
Kita sering mengatakan, “Politik adalah bagian dari Islam, jika ada politisi muslim yang busuk maka salahkan dia saja, bukan politiknya.”
Maka, seharusnya ucapan ini juga berlaku bagi poligami, bahwa jika ada yang gagal dan zalim, maka salahkan dia, bukan salahkan syariat poligaminya.
Ini pun juga terjadi pada monogami; baik KDRT, suami tidak bertanggung jawab, apakah lantas monogaminya yang disalahkan?
Walhasil, kita semua masih perlu belajar lagi untuk semakin tunduk kepada syariat agama kita sendiri.
Jangan lihat kepada orang lain, lihat diri sendiri, dari sekian banyak ajaran agama Islam -jujurkah kita apakah sudah benar-benar menerimanya sepenuh hati atau masih pilih-pilih?
Baca Juga: Suami Poligami dengan Selingkuhannya
Benarkah hidup kita sudah benar-benar untuk Allah?
Untuk laki-laki, poligami itu bukan untuk gaya-gayaan, tren, apalagi ikut-ikutan untuk menunjukkan kemampuan.
Poligami juga bukan puncak pengabdian kepada Allah, dan bukan pula standar keshalihan, tapi, dia sarana untuk memakmurkan dunia dengan menyemarakkannya dengan pernikahan yang syar’i, halal, dan menekan kekejian.
Untuk wanita, harus jujur apakah selama ini penolakan yang ada adalah menolak “dipoligami” atau menolak poligami itu sendiri? Sehingga ada ketulusan semu terhadap pengakuan cinta kepada Allah dan syariat-Nya.
Untuk wanita, yang sudah menjadi madu atau menjadi istri pertama, kedua, dst.. Harus terus memperbaiki diri dan hati, jangan sampai muncul sombong dan ‘ujub telah mampu mengalahkan emosinya.
Islam agama mudah, sejalan dengan fitrah, semua larangan dan perintah hanyalah untuk maslahat manusia.
Wallahu a’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.[ind]