PRO kontra ritual nishfu Sya’ban. Di beberapa negara Islam, umat Islam memiliki tradisi berkumpul di masjid atau di surau pada tiap ba’da maghrib di malam nishfu sya’ban (malam kelima belas).
Mereka membaca surat Yasin, lalu shalat dua rakaat dengan tujuan agar panjang umur, lalu shalat dua rakaat lagi agar kaya selain itu mereka berdoa dengan doa-doa khusus untuk malam nishfu sya’ban.
Apakah ini semua memiliki dalil dari Alquran, As Sunnah, atau pernah diperbuat oleh sahabat, atau tabi’in, atau tabi’ut tabi’in, atau para imam madzhab?
Ataukah ini kekeliruan dan perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah) ? Ataukah perselisihan ulama yang mesti disikapi dengan lapang dada?
Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S., M.I.Kom. menjelaskan, tidak bisa dipungkiri, aktivitas ini memang pro kontra sejak masa lalu.
Kedua belah pihak sama-sama sepakat bahwa ritual ini tidak pernah ada pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Ritual ini baru ada pada masa tabi’in, dan dilakukan sebagian ulama pada masa itu, dan ditolak oleh lainnya.
Baca Juga: Malam Nishfu Syaban yang Istimewa
Pihak yang Menolak
Pihak yang menolak, baik membid’ahkan atau memakruhkan, menganggap aktivitas ini tidak ada dasarnya dalam syariat. Dan merupakan salah satu ritual yang muhdats (baru), yang mesti dijauhi.
Sebab, asal dari ibadah adalah ittiba’ (mengikuti), bukan ibtida’ (menginovasi).
Dalam kaidah disebutkan:
فَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْأَمْرِ
“Pada dasarnya semua bentuk ibadah adalah batil (terlarang), sampai adanya dalil yang menunjukkan perintahnya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah)
Dengan kaidah inilah, para ulama sangat berhati-hati dalam urusan perkara ibadah yang pada masa-masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat tidak pernah ada.
Sebab jika ibadah tersebut baik dan benar, pastilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam paling tahu tentang itu dan tidak akan lupa mencontohkan atau memerintahkan kepada umatnya.
Pro Kontra Ritual Nishfu Sya’ban
Berikut ini ulama yang menolak ritual Nishfu Sya’ban:
1. Sebagian tabi’in
Diriwayatkan dari sebagian tabi’in bahwa mereka membenci ritual Nishfu Sya’ban, bahkan ada yang membid’ahkan.
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah (mufti Mesir di masanya) menceritakan:
وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة ، وهو قول أصحاب مالك وغيرهم ، وقالوا : ذلك كله بدعة
Perbuatan itu diingkari oleh mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya,
yakni para sahabat Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!” (Fatawa Al Azhar, 10/131)
Begitu pula sebagian ulama Syam masa itu, Syaikh ‘Athiyah melanjutkan:
أنه يكره الاجتماع فى المساجد للصلاة والقصص والدعاء ، ولا يكره أن يصلى الرجل فيها لخاصة نفسه ، وهذا قول الأوزاعى إمام أهل الشام وفقيههم وعالمهم .
Bahwasanya dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri saja.
Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.” (Ibid)
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَلَى كَرَاهَةِ الاِجْتِمَاعِ لإِِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ ، وَصَرَّحُوا بِأَنَّ الاِجْتِمَاعَ عَلَيْهَا بِدْعَةٌ وَعَلَى الأَْئِمَّةِ الْمَنْعُ مِنْهُ . وَهُوَ قَوْل عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ . وَذَهَبَ الأَْوْزَاعِيُّ إِلَى كَرَاهَةِ الاِجْتِمَاعِ لَهَا فِي الْمَسَاجِدِ لِلصَّلاَةِ ؛ لأَِنَّ الاِجْتِمَاعَ عَلَى إِحْيَاءِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ لَمْ يُنْقَل عَنِ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ
Mayoritas ahli fiqih memakruhkan berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, itu dikatakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah.
Mereka menerangkan bahwa berkumpul pada malam itu adalah bid’ah dan para imam melarangnya. Ini adalah pendapat ‘Atha bin Abi Rabah dan Ibnu Mulaikah.
Sedangkan Al Auza’i memakruhkan berkumpul di masjid untuk shalat, karena berkumpul untuk menghidupkan malam ini tidak pernah ada dikutip dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak seorang pun para sahabatnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)
2. Imam An Nawawi (bermazhab Syafi’i)
Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai berikut:
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل
“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab,
dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkaru yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin,
dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)
Demikian komentar Imam An Nawawi.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (mazhab Hambali)
Beliau Rahimahullahi memiliki dua pandangan tentang ritual nishfu sya’ban, TIDAK BOLEH dan BOLEH, bagaimana yang tidak boleh?
وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلَاةٍ مُقَدَّرَةٍ . كَالِاجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ : { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ } دَائِمًا . فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Adapun berkumpul di masjid untuk melakukan shalat yang sudah ditentukan, seperti berjamaah sebanyak seratus rakaat dengan membaca seribu kali Qul Huwallahu Ahad,
maka ini adalah bid’ah yang tidak pernah dianjurkan seorang pun kaum salaf (terdahulu). Wallahu A’lam.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 2, Hlm. 447)
4. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Kerajaan Arab Saudi
Mereka menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:
ومن البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان، وتخصيص يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها، أما ما ورد في فضل الصلاة فيها فكله موضوع،
كما نبه على ذلك كثير من أهل العلم، وسيأتي ذكر بعض كلامهم إن شاء الله. وورد فيها أيضًا آثار عن بعض السلف من أهل الشام وغيرهم. والذي عليه جمهور العلماء: أن الاحتفال بها بدعة، وأن الأحاديث الواردة في فضلها كلها ضعيفة وبعضها موضوع،
وممن نبه على ذلك الحافظ ابن رجب في كتابه [لطائف المعارف] وغيره، والأحاديث الضعيفة إنما يعمل بها في العبادات التي قد ثبت أصلها بأدلة صحيحة، أما الاحتفال بليلة النصف من شعبان فليس له أصل صحيح حتى يستأنس له بالأحاديث الضعيفة.
“Dan di antara bid’ah yang diada-adakan manusia pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang harinya berpuasa,
hal tersebut tidak ada dasarnya yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang keutamaannya adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan,
sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam tersebut, semuanya adalah maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh kebanyakan ulama tentang itu,
Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan selain mereka.
Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang keutamaannya adalah dha’if dan sebagiannya adalah palsu.
Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya.
Ada pun hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika ibadah tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih,
sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.”
(Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, Juz. 4, Hal. 281). Sekian kutipan dari Al Lajnah Ad Daimah.
Baca Juga: Penjelasan Hadis Larangan Berpuasa Setelah 15 Syaban
Pihak yang Membolehkan
Pihak yang membolehkan menilai apa yang dilakukannya memiliki dasar dalam agama secara shahih, yaitu hadits berikut:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Ta’ala menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hamba-Nya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh Al Albani, As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144.
Darul Ma’arif. Juga kitab beliau Shahih Al 6Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami.
Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang lebih kuat adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan.
Dishahihkan pula oleh Dr. Abdul Malik bin Abdullah Ad Duhaisy, dalam Jami’ Al Masanid wa Sunan, No. 9697)
Hadis ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, memanfaatkannya sebagai momentum beribadah adalah hal yang disyariatkan secara mutlak.
Baik sendiri atau berjamaah, baik dengan membaca Alquran, atau shalat sendiri atau berjamaah, seperti yang terjadi di sebagian masjid di negeri-negeri muslim.
Manusia bebas memilihnya, atau menyatukan semuanya.
Berikut ini pihak yang membolehkan:
1. Sebagian Tabi’in dan tabi’ut tabi’in
Dari kalangan tabi’in seperti Makhul dan Khalid bin Ma’dan, dari kalangan tabi’ut tabi’in seperti Ishaq bin Rahuya (Rahawaih), yang memandangnya sebagai perbuatan bagus dan bukan bid’ah.
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah mengatakan:
، والصورة التى يحتفل بها الناس اليوم لم تكن فى أيامه ولا فى أيام الصحابة ، ولكن حدثت فى عهد التابعين . يذكر القسطلانى فى كتابه “المواهب اللدنية”ج 2 ص 259 أن التابعين من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول كانوا يجتهدون ليلة النصف من
شعبان فى العبادة ، وعنهم أخذ الناس تعظيمها ، ويقال أنهم بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية . فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف الناس ، فمنهم من قبله منهم
Sedangkan aktivitas (ritual Nishfu Sya’ban) dengan gambaran yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.
Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hlm. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Ma’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk beribadah pada malam nishfu sya’ban.
Dari merekalah manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat tentang hal ini.
Ketika hal tersebut tersiarkan, maka manusia pun berselisih pendapat, lalu di antara mereka ada yang mengikutinya. (Fatawa Al Azhar, 10/131)
Syaikh ‘Athiyah juga menyebutkan para imam tabi’in di Syam yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah di masjid secara berjamaah, dan mereka memandangnya bukan bid’ah. Berikut ini uraiannya:
أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله
Dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid, Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakaian bagus,
memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat.
Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. (Ibid)
Dalam Al Mausu’ah disebutkan:
وَذَهَبَ خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ وَلُقْمَانُ بْنُ عَامِرٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ إِلَى اسْتِحْبَابِ إِحْيَائِهَا فِي جَمَاعَةٍ
Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir, dan Ishaq bin Rahawaih mengatakan mustahab (disukai) menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)
2. Amalan Penduduk Mekkah Generasi Salaf
Al Fakihi Rahimahullah (wafat 272 H) bercerita:
ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيهَا لِفَضْلِهَا وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى
يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ
Amalan penduduk Mekkah pada malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka beribadah karena keutamaan malam tersebut.
Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini, jika datang malam Nishfu Sya’ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf,
dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Alquran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat,
di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu,
lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut. (Akhbar Makkah, 3/84)
3. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Beliau berkata:
إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَن
Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau jamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan salaf, maka itu lebih baik. (Al Fatawa Al Kubra, 2/262)
Jadi, yang diingkari oleh Imam Ibnu Taimiyah adalah jika mengkhususkan bilangan rakaatnya dan bilangan bacaannya, yang menurutnya bid’ah dan tidak dianjurkan para imam. (Ibid)
Sebenarnya, sikap Imam Ibnu Taimiyah adalah sikap yang dianut mayoritas ulama yaitu menganjurkan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah,
tetapi secara umum saja tanpa ada aturan, cara, dan bilangan yang baku.
Tersebut dalam Al Mausu’ah:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ …
Mayoritas ahli fiqih menganjurkan menghidupkan (dengan ibadah) malam Nishfu Sya’ban. (Lalu disebutkan beberapa hadits tentang hal itu).
Lalu dilanjutkan:
وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الإِْحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لإِِحْيَائِهَا ، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ 5وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً ، وَقَال الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلاَةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ
Imam Al Ghazali menjelaskan tata cara menghidupkan malam itu secara khusus, namun tata cara itu diingkari oleh Syafi’iyah dan menyebutnya sebagai bid’ah yang buruk.
Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat tersebut adalah bid’ah, palsu, buruk lagi munkar. (Al Mausu’ah, 2/236)
Sementara itu, dalam Madzhab Hambali terdahulu, mereka mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban, dan itu merupakan pendapat yang resmi dari Imam Ahmad dan pengikutnya.
Berikut ini keterangan Imam Ibnu Taimiyah:
ومن هذا الباب ليلة النصف من شعبان فقد روى في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي أنها ليلة مفضلة وأن من السلف من كان يخصها بالصلاة فيها وصوم شهر شعبان
Di antara pembahasan ini adalah tentang malam Nishfu Sya’ban. Telah diriwayatkan tentang keutamaannya baik dari hadits-hadits yang marfu’ dan atsar-atsarnya.
Semua itu menunjukkan bahwa malam tersebut memang memiliki keutamaan.
Di antara generasi salaf ada yang mengkhususkan malam itu dengan shalat dan berpuasa pada bulan Sya’ban. (lalu Beliau menyebutkan hadits-haditsnya di mana hadits tersebut didhaifkan oleh ulama).
Selanjutnya:
لكن الذي عليه كثير من أهل العلم أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم على تفضيلها وعليه يدل نص أحمد لتعدد الأحاديث الواردة فيها وما يصدق ذلك من الآثار السلفية وقد روى بعض فضائلها في المسانيد والسنن وإن كان قد وضع فيها أشياء أخر
Tetapi, yang dianut oleh mayoritas ulama atau mayoritas sahabat-sahabat kami (HAMBALIYAH), dan selain mereka, bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad.
Hal ini berdasarkan banyak hadits dan atsar para salafush shalih.
Diriwayatkan sebagian riwayat tentang keutamaan tersebut di kitab-kitab Musnad dan Sunan, walau adanya riwayat palsu pada riwayat tersebut merupakan hal yang lain. (Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, Hlm. 302)
Demikian peta perselisihan tentang Nishfu Sya’ban.
Semoga bermanfaat, silakan ambil yang menurut Anda lebih kuat, namun jangan ingkari saudara kita yang mengambil pendapat lain, dan tetaplah menjaga ukhuwah Islamiyah.
Wallahu A’lam.[ind]