BEREDAR siaran di grup-grup pesan singkat WhatsApp mengenai Rebo Wekasan dan amalan yang dianjurkan pada hari itu. Ustaz Farid Nu’man Hasan menjawab persoalan tersebut dengan lengkap dan jelas.
Isi pesan singkat mengenai Rebo Wekasan yang dibagikan ke grup WhatsApp yang diterima ChanelMuslim.com yaitu sebagai berikut.
“Saya Hanya Mengingatkan Bahwa Besok Rabu tanggal 7 November 2018M Bertepatan dengan 29 Safar 1440H Kita Semua memasuki Suatu Hari yang dikenal dengan Istilah Rabu Pungkasan atau Rabu Kasan atau Rabu Wekasan.
Rabu Pungkasan adalah Rabu yang terakhir dibulan Safar sebelum Memasuki Bulan Maulid atau Mulud atau Rabiul Awal
Di hari itu pula, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam awal dari jatuh sakitnya beliau,
selama 12 hari berturut-turut dimulai sakitnya di hari Rabu terakhir bulan Safar dan di hari ke-12 hari Senin Maulid Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam wafat meninggal dunia.
Di hari itu pula (Rabu Pungkasan) Allah menurunkan ke dunia yang dijelaskan dalam beberapa kitab sebanyak 360.000 macam bala/musibah baik kecil atau besar termasuk apes.
Berlaku untuk seluruh makhluk di langit dan bumi yang dimulai dari sejak Fajar Shubuh di hari Rabu, 29 Safar 1440H besok pagi.
Maka dari itu, para Ulama menyarakan untuk buatlah doa bersama dan bersedekahlah. Karena sedekah di antaranya kekuatan dan keutamaan sedekah yaitu mampu menolak bala/musibah, seperti yang diriwayatkan dalam hadis,
Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Bersegeralah untuk bersedekah. Karena musibah dan bencana tidak bisa mendahului sedekah”.
Bersedekahlah dalam bentuk apapun, tidak harus dengan uang atau sesuatu. Bisa dengan bertasbih bertahmid bertahlil menyingkirkan batu/duri/sesuatu yang berbahaya di jalan dll.
Namun lebih afdolnya dengan sesuatu atau uang.
Dan berdoalah sendirian atau berjamaah memohon kepada Allah agar dihindarkan dari bala yang Allah turunkan selama seharian penuh di hari Rabu Pungkasan besok.
Semoga kita semua, keluarga Anda, orang tua Anda, anak cucu Anda, Saudara-saudara Anda, tetangga Anda, dan kaum Muslim dan Muslimah di belahan Bumi manapun terhindar dari bala besar atau kecil dengan wasilah/jalan doa dan sedekah Anda semua.
Baca Juga: Sedekah Membuat Bahagia
Amalan Rabu Wekasan Bulan Shofar
Rabu wekasan atau Rabu pungkasan adalah hari Rabu terakhir bulan Shofar. Sebagian ulama ahli kasyf mengatakan bahwa pada hari itu diturunkan 360.000 macam bala’.
Karenanya, kita disunahkan melaksanakan amalan sholat awwabin untuk tolak bala’ (hajat lidaf’il bala’).
Dan pada tahun ini, Rabu wekasan jatuh pada hari Selasa Pon malam Rabu Wage tanggal 29 Shofar 1440 H/ 7 November 2018 M.
Sholat dilaksanakan empat roka’at dua kali salam, dengan niat:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْحَاجَةِ لِدَفْعِ الْبَلَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِلهِ تَعَالَى
atau niat:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْحَاجَةِ لِدَفْعِ الْبَلَاءِ رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَالَى
1. Al Fatihah, kemudian membaca surat Al-Kautsar 17 kali
2. Al Fatihah surat Al-Ikhlash 5 kali
3. Al Fatihah kemudian surat Al-Falaq 1 kali
4. Al Fatihah surat An-Nas 1 kali
Selesai sholat membaca doa ini:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. اللّٰهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ
خَلْقِكَ اِكْفِنِيْ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لَآ إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ بِرَحْمَتِكَ ياَ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللّٰهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ اِكْفِنِيْ شَرَّ هٰذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَا كَافِيْ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيْلُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Aamiin Aamiin Aamiin Yaa Rabbal’alamiin.”
Mengenai pesan singkat tersebut, Ustaz Farid Nu’man menjawab sebagai berikut.
Tentang Rebo Wekasan. Tidak ada dasar yang Shahih dan Hasan anjuran berpuasa, shalat khusus, saat itu, walau berpuasa adalah perbuatan positif, tapi keyakinan yang mengiringinya bukan berasal dari Islam.
Tidak pada Alquran, As Sunnah, Ijma’, dan imam empat mazhab. Ada hadis dhaif yang menjelaskan bahwa Rabu akhir safar itu hari sial.
Apa itu Rabu Wekasan dan bagaimana hukumnya?
Penjelasan Lengkap Soal Rebo Wekasan dari Segi Syariah
Rabu Wekasan (Jawa: Rebo Wekasan) adalah tradisi ritual yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, guna memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa taala dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari tersebut.
Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dll.
Bentuk ritual Rebo Wekasan meliputi empat hal; (1) shalat tolak bala’; (2) berdoa dengan doa-doa khusus; (3) minum air jimat; dan (4) selamatan, sedekah, silaturrahim, dan berbuat baik kepada sesama.
Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid
(biasa disebut: Mujarrobat ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.
Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit dimengerti orang lain)
mengatakan bahwa dalam setiap tahun pada Rabu terakhir Bulan Shafar, Allah Subhanahu wa taala menurunkan 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam bala’ dalam satu malam.
Oleh karena itu, beliau menyarankan umat Islam untuk shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ tsb. Tata-caranya adalah shalat 4 Rakaat.
Setiap rakaat membaca surat al Fatihah dan Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali.
Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu Dhuha).
Pandangan Islam
Untuk menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut pandang.
Pertama, rekomendasi sebagian ulama sufi (waliyullah) tersebut didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari Allah (semacam “inspirasi” bagi masyarakat umum).
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.
Kedua, ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam rangka menghukumi melainkan hanya informasi dari “alam ghaib”. Jadi, anjuran beliau-beliau tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum Syariat.
Ketiga, ilham yang diterima seorang wali tidak boleh diamalkan oleh orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan al-Qur’an dan Hadis.
Jika sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis, maka ilham tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.
Memang ada hadis dha’if yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.”
HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi.
(dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hlm. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hlm. 23).
Selain dha’if, hadis ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).
Baca Juga: Sedekah Salah Sasaran
Hukum Meyakini
Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir bulan Shafar, sudah dijelaskan oleh hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadis ini merupakan respon Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap tradisi yang berkembang di masa Jahiliyah.
Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadis di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membatalkan hal tersebut.
Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya.
Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu.
Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 148).
Hadis ini secara implisit juga menegaskan bahwa bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak memiliki kehendak sendiri. Ia berjalan sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu wa taala.
Muktamar NU ke-3 juga pernah menjawab tentang hukum berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan.
Para Muktamirin mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah sebagai berikut:
“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya,
semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Pencipta.
Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat Ali karamallahu wajhahu adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Baca juga: Contoh-Contoh Sedekah Tanpa Harta
Hukum Shalat
Shalat Rebo Wekasan (sebagaimana anjuran sebagian ulama di atas), jika niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka hukumnya tidak boleh, karena Syariat Islam tidak pernah mengenal shalat bernama “Rebo Wekasan”.
Tapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja.
Shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangannya tidak terbatas.
Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf’il makhuf (menolak hal-hal yang dikhawatirkan).
Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus (imam masjidil haram) dalam kitab Kanzun Najah Was Surur halaman 33 menulis:
“Syeikh Zainuddin murid Imam Ibnu Hajar Al-Makki berkata dalam kitab “Irsyadul Ibad”, demikian juga para ulama madzhab lain, mengatakan:
Termasuk bid’ah tercela yang pelakunya dianggap berdosa dan penguasa wajib melarang pelakunya, yaitu Shalat Ragha’ib 12 rakaat yang dilaksanakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab……..
Kami (Syeikh Abdul Hamid) berpendapat: Sama dengan shalat tersebut (termasuk bid’ah tercela) yaitu Shalat Bulan Shafar.
Seseorang yang akan shalat pada salah satu waktu tersebut, berniatlah melakukan shalat sunnat mutlaq secara sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan bilangan, yakni tidak terkait dengan waktu, sebab, atau hitungan rakaat.”
Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat.
Kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya (Tanggal 20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlaq. (Referensi: Tuhfah al-Muhtaj Juz VII, Hlm. 317).
Hukum Berdoa
Berdoa untuk menolak-bala (malapetaka) pada hari Rabu Wekasan hukumnya boleh, tapi harus diniati berdoa memohon perlindungan dari malapetaka secara umum (tidak hanya malapetaka Rabu Wekasan saja).
Al-Hafidz Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan:
“Meneliti sebab-sebab bencana seperti melihat perbintangan dan semacamnya merupakan thiyarah yang terlarang.
Karena orang-orang yang meneliti biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik sebagai
penolak balak, melainkan justru memerintahkan agar tidak keluar rumah dan tidak bekerja.
Padahal itu jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Ada lagi yang menyibukkan diri dengan perbuatan maksiat, padahal itu dapat mendorong terjadinya malapetaka.
Syari’at mengajarkan agar (kita) tidak perlu meneliti melainkan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak, seperti berdoa, berzikir, bersedekah, dan bertawakal kepada Allah Subhanahu wa taala serta beriman pada qadla’ dan qadar-Nya.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hlm. 143). Wallahu a’lam.[ind]