HIBAH dan hadiah sering kali dipahami sebagai sesuatu yang sama, namun sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan meskipun sangatlah tipis.
Keduanya dipahami sebagai pemberian. Secara spesifik hibah adalah akad pemberian kepemilikan kepada orang lain tanpa adanya ganti, yang dilakukan cara sukarela ketika pemberi masih hidup. Ini adalah pendapat dari Ibnu ‘Abidin.
Sementara perbedaan hadiah dan hibah hanya terletak pada motif pemberiannya. Bila pemberian itu dengan tujuan menghormati dan mengasihi maka itu disebut hadiah.
Namun, jika tidak ada niat menghormati dan mengasihi maka disebut dengan hibah. Hal ini disampaikan oleh Taqiyuddin al-Hishni as-Syafi’i dalam kitab Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar:
“Ketehuilah bahwa pemberian (pada seseorang) tanpa mengharapkan imbalan, hanya berharap pahala, ia bernama sedekah. Namun, bila pemberian itu dengan tujuan menghormati dan mengasihi yang diberi itu bernama hadiah. Sementara hibah, tidak ada niat menghormati dan mengasihi.”
Baca Juga: Perbedaan Hibah, Wasiat dan Warisan dalam Islam
Pengertian Hibah dan Apa Bedanya dengan Hadiah?
Ustaz Hanid Luthfi menyebutkan dalam bukunya “Hibah Jangan Salah!”, hibah jika dipandang dengan hubungan sesama manusia dan lingkungannya dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara kaya dan yang miskin serta dapat menghilangkan rasa kecemburuhan sosial, dan ini juga berfungsi utuk menimbulkan suasana akrab dan kasing sayang.
Para imam sepakat bahwa hibah sah dengan adanya ijab qabul dan serah terima benda. Dengan demikian yang membedakannya dengan hadiah adalah adanya rukun dan syarat:
Rukun Hibah
1. Adanya orang yang memberi (al-Wahib)
Pemberi hadiah harus dalam keadaan sehat dan memiliki benda yang dihibahkan secara penuh.
2. Orang yang diberi (al-Mauhub lah)
Hibah bisa diberikan kepada siapapun yang dikehendaki, baik kepada keluarga sendiri ataupun kepada orang lain. Yang terpenting bahwa orang yang diberi harus benar-benar ada, misal jika masih berupa janin maka tidak sah.
3. Benda yang diberikan (al-Mauhub)
Benda apa saja termasuk benda yang dapat diperjual-belikan.
4. Sighat (Ijab-Qabul)
Sighat adalah ijab dan qabul berupa ucapan dari orang yang bisa berbicara dan termasuk ijab yang jelas, seperti ucapan, ” Saya hibahkan kepada kamu.”
Dan qabul yang jelas seperti ucapan, “Saya terima dan saya ridho.”
Syarat Hibah:
1. Pemberi hibah adalah orang yang memiliki kewenangan untuk memberi sumbangan yaitu berakal, baligh, dan menjaga harta. Sehingga tidak sah jika pemberi hibah dari anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak memiliki kewenangan untuk memberi secara sukarela.
2. Tidak dalam keadaan terpaksa. Inisiatif memberi hibah harus datang atas kemauan sendiri dengan penuh kerelaan tanpa ada keterpaksaan dari pihak lain.
3. Orang yang diberi hibah harus benar-benar ada ketika hibah diberikan. Jika orang yang diberi hibah telah ada ketika hibah diberi tapi masih kecil atau gila maka hibah diterima oleh walinya.
Wali tersebut adalah yang diberi amanah untuk mengurusinya dan merawatnya.
4. Barang ada ketika dihibahkan. Tidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika terjadinya akad.
5. Barang atau benda yang diberi harus bernilai, bisa dimiliki, bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan orang lain, juga bukan benda milik umum.
Karena itu tidak sah menghibahkan air sungai, ikan di laut, burung di udara.
5. Benda miliki pemberi. Tidak sah hibah benda milik orang lain tanpa izin pemiliknya, karena tidak mungkin seseorang memberikan kepemilikan atas suatu benda yang bukan miliknya.
6. Penerima atau pengambil barang harus oleh orang yang diberi langsung. Ini adalah syarat terpenting.
7. Pengambilan barang harus dengan izin pemberinya secara langsung.
8. Ijan dan qabul harus bersambung tanpa adanya pemisah yang secara syariat dianggap berpengaruh pada keabsahan ijab qabul tersebut.
Demikianlah pembahasan tentang hibah. Semoga bermanfaat. [Ln]