ChanelMuslim.com – Assalamualaikum Ustaz, apa makna kalimat Allah ada di langit? Bagaimana cara menyikapi pertanyaan ‘di mana Allah’ Dan cara memahami ayat ‘Arrahman ‘alal arsyistawa’.
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut.
Keempat. Kelompok yang meyakini adanya ayat dan hadits tentang sifat, tapi mereka mentakwilnya, mereka tidak memahaminya secara zahir melainkan mesti dipahami sebagai bahasa kiasan.
Agar terhindar dari paham antropomorfisme (mencitrakan Allah seperti manusia/antrop) yang memiliki anggota tubuh.
Apalagi ketika Islam masuk ke negeri-negeri yang tidak berbahasa Arab, jika ayat dan hadits tentang sifat dipahami secara harfiyah khawatir disalahpahami oleh mereka.
Maka, adanya takwil adalah koridor agar tidak penyimpangan dalam memahami ayat dan hadits sifat-sifat Allah Ta’ala. Inilah yang dianut Asy’ariyah umumnya.
Bagi mereka jika dipahami secara zahir, bahwa Allah Ta’ala benar-benar di langit maka akan bertentangan dengan ayat Al Quran yang menyebut Allah Ta’ala lebih dekat dengan urat leher hamba-Nya,
atau Allah Ta’ala bersama hamba-Nya di mana pun berada, atau hadits hati hamba di antara jari jemari Allah Ta’ala.
Jika ini semua dimaknai secara harfiyah zhahiriyah (apa adanya) tentu akan bertentangan dengan hadits Allah Ta’ala berada di atas langit.
Itulah kenapa mesti ditakwil dengan takwil yang layak bagi-Nya.
Kelompok dua, tiga, dan empat, masing masing mengklaim sebagai pemahaman salaf, pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sebab, jika kita buka dalam banyak literatur, kenyataannya memang kaum salaf ada pada tiga pemahaman itu.
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah , mengutip dari Ibnu Munayyar:
وَلِأَهْلِ الْكَلَام فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة ، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى
Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:
Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan (itsbat) oleh pendengaran (wahyu) dan tidak mampu bagi akal untuk mengetahuinya.
Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud.
Ketiga, melewatinya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala. (Fathul Bari, 13/390)
“Allah di langit”, apa artinya?
Baca Juga: Makna Menolong Allah
Makna Kalimat Allah ada di Langit
Kita lihat penjelasan para imam terdahulu yang memberikan syarah pada hadits ini.
Imam Ibnu Furak Rahimahullah (w. 406 H)
Beliau mengatakan:
إِن معنى قَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم
أَيْن الله استعلام لمنزلته وَقدره عِنْدهَا وَفِي قَلبهَا وأشارت إِلَى السَّمَاء ودلت بإشارتها على أَنه فِي السَّمَاء عِنْدهَا على قَول الْقَائِل
إِذا أَرَادَ أَن يخبر عَن رفْعَة وعلو منزلَة فلَان فِي السَّمَاء أَي هُوَ رفيع الشَّأْن عَظِيم الْمِقْدَار كَذَلِك قَوْلهَا فِي السَّمَاء على طَرِيق الْإِشَارَة إِلَيْهَا تَنْبِيها عَن مَحَله فِي قَلبهَا
Makna sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam “Di mana Allah” adalah upaya mengorek informasi tentang kedudukan Allah dan kemahakuasaan-Nya menurut wanita itu dan di hatinya.
Jawaban dia dengan mengisyaratkan kedudukan Allah ke langit menunjukan seperti perkataan orang jika hendak mengabarkan tentang ketinggian kedudukan seseorang dengan mengatakan “Fulan di langit” artinya dia itu posisinya tinggi dan agung.
Demikian pula ucapan wanita tersebut “di langit” merupakan isyarat bahwa seperti itulah kedudukan Allah di hatinya.
(Musykilul Hadits wa Bayanuhu, Hlm. 159)
Imam Al Mazari (w. 536H) Rahimahullah
Beliau berkata:
وإشارتها إلى السماء إخبار عن جلالته تعالى في نفسها والسماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين فكما لم يدلّ استقبال الكعبة على أن الله جلت قدرته فيها لم يدل التوجه إلى السماء، والإِشارة على أن الله سبحانه حالٌّ فيها
Isyaratnya ke langit mengabarkan tentang keagungan pada diri-Nya. Langit adalah kiblatnya orang berdoa, sebagaimana ka’bah kiblatnya orang shalat.
Maka, sebagaimana menghadap ka’bah saat shalat bukan berarti Allah ada di dalamnya, begitu pula saat berdoa mengisyaratkan ke arah langit bukan berarti Allah ada di atasnya.
(Al Mu’lim bifawaid Muslim, 1/412)
Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah (w. 544 H)
Beliau berkata:
لا خلاف بين المسلمين قاطبة – محدِّثِهم وفقيههم ومتكلمهم ومقلدهم ونُظَّارِهم – أَنَّ الظواهر الواردة بذكر الله فى السماء كقوله: {أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء}، أنها ليست على ظاهرها، وأنها متأولة عند جميعهم
Tidak ada perbedaan pendapat antara kaum muslimin seluruhnya -baik ahli haditsnya, ahli fiqih, ahli kalam, baik yang muqqallid, dan pakarnya- bahwa ayat yang secara zahir menyebut Allah di langit seperti
“Merasa amankah kalian terhadap yang di langit”, bahwa ini tidak dimaknai menurut zahirnya tapi ini mesti ditakwil menurut mereka semua. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’lim, 2/465)
Imam An Nawawi Rahimahullah (w. 676H)
Beliau menjelaskan:
هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ أحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَفِيهَا مَذْهَبَانِ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُمَا مَرَّاتٍ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ أَحَدُهُمَا الْإِيمَانُ بِهِ مِنْ غَيْرِ خَوْضٍ فِي مَعْنَاهُ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَتَنْزِيهِهِ عَنْ سِمَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ وَالثَّانِي تَأْوِيلُهُ بِمَا يَلِيقُ بِهِ فَمَنْ قَالَ بِهَذَا قَالَ
كَانَ الْمُرَادُ امْتِحَانَهَا هَلْ هِيَ مُوَحِّدَةٌ تُقِرُّ بِأَنَّ الْخَالِقَ الْمُدَبِّرَ الْفَعَّالَ هُوَ اللَّهُ وَحْدَهُ وَهُوَ الَّذِي إِذَا دَعَاهُ الدَّاعِي اسْتَقْبَلَ السَّمَاءَ كَمَا إِذَا صَلَّى الْمُصَلِّي اسْتَقْبَلَ الْكَعْبَةَ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ مُنْحَصِرٌ فِي السَّمَاءِ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُنْحَصِرًا فِي جِهَةِ الْكَعْبَةِ بَلْ ذَلِكَ لِأَنَّ السَّمَاءَ
قِبْلَةُ الدَّاعِينَ كَمَا أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ الْمُصَلِّينَ أَوْ هِيَ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ الْعَابِدِينَ لِلْأَوْثَانِ الَّتِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَلَمَّا قَالَتْ فِي السَّمَاءِ عَلِمَ أَنَّهَا مُوَحِّدَةٌ وَلَيْسَتْ عَابِدَةً لِلْأَوْثَانِ
Hadits ini termasuk hadits-hadits sifat. Ada dua madzhab dalam memahaminya seperti yang telah kami sebutkan dalam Kitabul Iman.
Pendapat pertama. Hendaknya mengimaninya tanpa menceburkan diri dalam pergulatan apa maknanya, juga meyakini bahwa Allah Ta’ala tidak ada yang serupa dengan-Nya suatu apa pun, dan mensucikan-Nya dari semua tanda-tanda makhluk.
Pendapat kedua. Mentakwilnya dengan makna yang pantas bagi-Nya.
Pihak ini mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermaskud menguji wanita itu apakah dia seorang ahli tauhid yang mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur manusia.
Dialah yang jika seseorang berdoa maka manusia akan menghadap ke langit sebagaimana jika orang shalat akan menghadap ke ka’bah.
Bukanlah hal itu bermakna bahwa Allah dibatasi oleh langit sebagaimana Dia juga tidak dibatasi oleh arah ka’bah. Karena langit adalah kiblatnya orang berdoa, sebagaimana ka’bah kiblatnya orang shalat.
Ataukah wanita ini wanita penyembah berhala yang berhala itu ada di antara mereka? Ketika wanita itu menjawab “di langit” maka tahulah bahwa dia seorang wanita ahli tauhid, bukan penyembah berhala.
(Syarh Shahih Muslim, 5/24)
Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah (w. 855 H)
Beliau juga punya penjelasan yang sama dengan Imam Al Mazari Rahimahullah.
وإشارتها إلى السماء إخبار عن جلالته تعالى في نفسها، والسماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين، فكما لم يَدل استقبالُ الكعبة على أن الله جلت قدرته فيها، لم يدل التوجه إلى السماء والإشارة على أن الله عَزَّ وجَلَّ فيها
Isyaratnya ke langit menunjukkan keagungan diri-Nya. Langit adalah kiblatnya orang berdoa, dan ka’bah kiblatnya orang shalat.
Maka, sebagaimana menghadap ka’bah saat shalat, bukan berarti Allah ada di dalamnya, begitu pula saat berdoa mengisyaratkan ke arah langit bukan berarti Allah ada di atasnya. (Syarh Sunan Abi Daud, 4/186)
Jadi, rata-rata memang tidak memahaminya secara tekstual, bagi mereka, “Allah di langit” menunjukkan kemahatinggian, kemahaagungan.
Namun ada yang memaknai serahkan saja maksudnya kepada Allah Ta’ala. Namun, ada pula yang memaknai secara zahir yaitu di langit di atas arsy-Nya, seperti perincian yang disampaikan Imam Ibnu Hajar.
Demikian. Wallahu a’lam.[ind]