ChanelMuslim.com – Hukum lembaga sosial yang mengambil dana sosial beberapa persen untuk biaya operasional. Ustaz, saya mau bertanya, bagaimana hukumnya, semisal lembaga atau komunitas yang menerima donasi kemanusiaan seperti Palestina atau bencana yang beberapa persen dananya itu dipakai untuk dana pengelola di lembaga, seperti operasional lembaga seperti sewa, air, listrik atau gaji pegawai? Apakah sesuai syariat?
Pertanyaan lain, seperti zakat ada hak amil 12,5%, kalau sedekah infak apakah ada juga haknya? Dan hukumnya infak umum yang tidak terikat yang digunakan untuk kafalah amil hukumnya bagaimana?
Bagaimana hukumnya bekerja d lembaga sosial dengann kondisi dalam sat kantor akhwat senderi, dan amanah kerjanya untuk menghitung dana yang harus disaksikan oleh pimpinan dan saksi yang semuanya ikhwan atau rapat dalam satu ruangan bercampur, syukron.
Baca Juga: Begini Cara Daftar Lembaga Sosial Menjadi Laznas
Hukum Mengambil Dana Sosial untuk Biaya Operasional
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
Jawaban: Para ulama membolehkan hal itu, tapi tidak banyak-banyak. Jika memang benar-benar dipakai biaya operasional. Mereka boleh diupah darinya karena telah memberikan segenap waktu, pikiran, tenaga, skill, untuk menghimpun dana umat.
Para ulama mengqiyaskannya dengan hadits ttg wali yatim, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَادِرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ
“Makanlah sebagian dari harta anak yatimmu, tetapi janganlah berlebihan, tidak menggunakannya secara mubadzir, dan tidak mengambi harta pokoknya..” (HR. Abu Daud no. 2872, Hasan)
Imam Ibnu Hajar Al Hajtami Rahimahullah mengatakan:
و قيس بولي اليتيم فيما ذكر من جمع مالا لفك أسر أي: مثلا فله َالْوَجْهُ أَنْ يُقَالَ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ
Dan diqiyaskan dengan wali yatim seperti yang telah disebutkan, bahwa orang yang mengumpulkan harta, misalnya untuk menebus membebaskan tawanan. Jika orang yang mengumpulkan itu miskin maka ia diperbolehkan untuk makan dari harta tersebut atau ia boleh mengambil satu di antara dua perkara yang paling sedikit. (Tuhfatul Muhtaj, 5/187)
Maksud dua hal dalam keterangan Imam Ibnu Hajar di atas adalah biaya nafkah atau mengambil ujrah al mitsli (upah yang pantas).
Baca Juga: Lembaga Sosial Solopeduli Bantu Penderita Atresia Bilier di Karanganyar
Mengenai Ikhtilath
Ikhtilath, secara bahasa artinya campur baur.
Syaikh Isham Talimah menyebut Ikhtilath ada dua macam:
1. Ikhtilath masyru’, yaitu ikhtilath yang boleh terjadi karena adanya hajat untuk itu asalkan tetap memenuhi syaratnya.
Dalilnya adalah:
– Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah berkunjung ke Bilal yg sedang sakit, dan mereka ngobrol. Saat itu Abu Bakar Radhiyallahu’ Anhu juga sakit. Ini Shahih Bukhari.
– Ummu Darda, pernah berkunjung ke seorang laki-laki Anshar, yg sakit. Ini juga Shahih Bukhari.
Namun, pembolehan ini terikat oleh syarat bahwa tetap menutup aurat secara sempurna dan aman dari fitnah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/118).
– Dahulu datang seorang wanita ke Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat, yang sedang berkumpul di masjid, dan wanita itu menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini juga Shahih Bukhari.
Syarat-syaratnya, selain aman dari fitnah dan menutup aurat, adalah percampuran itu memang tidak bisa dihindari, seperti di pasar, kampus, rumah sakit, swalayan, alat transportasi yang memang belum ada pemisahan laki-laki perempuan.
2. Ikhtilath mamnu’, yaitu Ikhtilath yang terlarang, jika tidak ada hajat dan tidak mengindahkan adab-adabnya.
Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan di bioskop, diskotik, kolam renang yang bercampur, pantai.
Adapun khalwat, dari kata Al Khala, yang artinya sepi, kosong, dan jauh dari pandangan. Dengan demikian, larangan khalwat maksudnya adalah larangan berduaan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram, di tempat sepi dan jauh dari pandangan mata orang lain. Misal, di kamar, hotel, gudang, ruang tamu berduaan,.. Ini terlarang, walau ditemani anak kecil, maka keberadaan anak itu tidak dianggap ada karena belum paham apa-apa.
Demikian. Wallahu a’lam.[ind]