BAGAIMANA cara meng-qadha shalat subuh bagi seorang pilot? Seorang pembaca yang berprofesi sebagai pilot menanyakan mengenai hal ini.
Saya kadang ketinggalan waktu shalat, jadi saya qadha atau jamak, namun waktu subuh, sepemahaman saya tidak bisa di-qadha dan dijamak dengan waktu shalat yang lain.
Jadi, beberapa kali saya shalat subuh sebelum waktunya (karena tidak tahu sudah azan atau belum untuk penerbangan ke luar negri).
Atau bahkan shalat subuh saat matahari sudah terang karena tidak sempat shalat di pesawat, bagaimana solusinya, Ustaz?
Baca Juga: Bolehkah Mengqada Shalat Qobliyah Subuh?
Cara Meng-Qadha Shalat Subuh Bagi Seorang Pilot
Pengurus PP Al Irsyad Al Islamiyah Ustaz Farid Nu’man Hasan, M.Kom.I. menjawab mengenai hal ini yaitu sebagai berikut.
Telah diketahui bersama, bahwa shalat adalah tiang agama. (HR. Ahmad no. 22068, Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: shahih. Tahqiq Musnad Ahmad, 36/388).
Shalat pula yang akan pertama kali dihisab dari seorang hamba, jika bagus shalatnya maka dia akan selamat dan beruntung, jika buruk shalatnya maka dia akan merugi dan menyesal. (HR. At Tirmidzi no. 413, At Tirmidzi berkata: hasan).
Dalam hadis lain, jika bagus shalatnya maka bagus pula amal yang lainnya, jika buruk shalatnya maka akan buruk pula amal lainnya. (HR. Ath Thabarani, Al Ausath no. 1859. Dhiya’uddin al Maqdisi bekata: hasan. Al Ahadits al Mukhtarah, no. 2578).
Hal ini menunjukkan saking besarnya pengaruh shalat dalam kehidupan akhirat, kehidupan abadi, bagi manusia. Menjelang wafat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan wasiat Beliau adalah menjaga shalat:
الصلاةَ الصلاةَ، اتقوا الله فيما مَلَكَتْ أيمانُكم
Jagalah shalat, jagalah shalat, dan bertaqwalah kepada Allah terhadap budak-budak yang kalian miliki. (HR. Abu Daud no. 5156, Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: shahih)
Oleh karenanya, apa pun posisi dan profesi seorang muslim dan muslimah, di mana pun dan kapan pun, maka jagalah shalatnya di saat memasuki waktunya.
Inilah amal yang paling Allah Ta’ala cintai.
Namun demikian, secara fiqih memang ada situasi -baik berupa sulit, sempit, bahaya- yang membuat bolehnya seseorang tertunda shalatnya bahkan sampai membuatnya menjamak dengan waktu shalat lainnya
(kecuali shalat subuh, tidak bisa dijamak), dan boleh pula meng-qashar (meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, kecuali subuh dan maghrib tidak bisa di-qashar).
Seseorang yang dalam perjalanan jauh, ratusan bahkan ribuan kilometer, seperti kru dan awak pesawat, boleh bagi mereka melakukan jamak dan qashar tersebut.
Karena syaratnya telah terpenuhi yaitu safar (perjalanan) yang jaraknya sudah pantas untuk jamak dan qashar, menurut mayoritas ulama adalah empat burud, yaitu sekitar 88, 656 km.
Berdasarkan perilaku para sahabat yang mereka menyarankan qashar jika jarak perjalanan sudah sejauh itu. Inilah pendapat yang lebih aman, dan dipilih oleh Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hambaliyah.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma berikut ini:
يَا أَهْلَ مَكَّةَ، لَا تَقْصُرُوا فِي أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مَنْ عُسْفَانَ إلَى مَكَّةَ. قَالَ الْخَطَّابِيُّ: وَهُوَ أَصَحُّ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ.
“Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian meng-qashar shalat sebelum jarak empat burud, dari ‘Usfan menuju Mekkah.”
Al Khaththabi berkata: Ini riwayat yang paling shahih dari dua riwayat Ibnu Umar. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 2/189)
Jika waktu shalat telah lewat atau habis, lantaran ada kesibukan luar biasa yang sangat sulit bahkan tidak bisa ditinggal, atau berbahaya jika ditinggal,
maka wajib meng-qadha-nya meski dilakukan di waktu shalat selanjutnya, atau karena sebab lupa dan tertidur.
Oleh karena itu, jika tertinggal shalat subuh atau telah habis waktunya karena kesibukan luar biasa tersebut, atau lupa dan tertidur,
maka segeralah shalat di kala mengingat bahwa dirinya belum shalat walau waktu subuh telah habis.
Hal ini berdasarkan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri dan para sahabat.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu katanya:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ
“Bahwa Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata,
“Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shalat ‘Ashar hingga matahari hampir terbenam!” Maka Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: “Demi Allah, aku juga belum melaksanakannya.”
Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudhu dan kami pun ikut berwudhu, kemudian beliau melaksanakan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.” (HR. Bukhari no. 596)
Dalam hadis di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Umar radhiallahu ‘anhu, melaksanakan shalat ‘ashar di waktu sudah maghrib, karena kesibukannya yang luar biasa saat perang Khandaq.
Baca Juga: Terlalu Banyak Qadha Shalat Hingga Mual
Karena itu, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:
اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم
“Para ulama sepakat tentang wajibnya meng-qadha shalat bagi orang lupa dan tertidur.” ( Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}
“Barang siapa yang lupa dari shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman: “dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”).” (HR. Bukhari no. 597)
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada saudara penanya dan keluarganya, dan memberikan pekerjaan yang lebih baik, yang lebih dapat menjaga shalat, dengan hasil yang banyak, halal, dan berkah.
Demikian. Wallahu a’lam.[ind]
sumber: Sharia Consulting Center (SCC)