APA saja keutamaan bulan Rajab? Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S. akan menjelaskannya pada kita semua. Rajab termasuk Ayshurul Hurum. Bulan Rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram).
Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.
Baca Juga: Hukum Puasa di Bulan Rajab
Keutamaan Bulan Rajab
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan haram (syahral haram) …” (QS. Al Maidah (95): 2)
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)
Namun sebagian ulama mengatakan, larangan berperang pada bulan-bulan haram ini telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat wa qaatiluuhum haitsu tsaqiftumuuhum (dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka). Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah).
Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”.
“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)
Rajab adalah bulan untuk banyak mengagungkan Allah Ta’ala
Dinamakan Rajab karena itu adalah bulan untuk yarjubu, yakni Ya’zhumu (mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashmu’i, Al Mufadhdhal, dan Al Farra’. (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif, Hal. 117. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Banyak manusia meyakini bulan Rajab secara khusus sebagai bulan untuk memperbanyak ibadah, seperti shalat, puasa, dan menyembelih hewan untuk disedekahkan.
Namun, pengkhususan kebiasaan ini nampaknya tidak didukung oleh sumber yang shahih. Para ulama hadits telah melakukan penelitian mendalam, bahwa tidak satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan shalat khusus, puasa, dan ibadah lainnya pada bulan Rajab.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam Ibnu Rajab, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dan lainnya. Benar, bulan Rajab adalah bulan yang agung dan mulia, tetapi kita tidak mendapatkan hadits shahih tentang rincian amalan khusus pada bulan Rajab.
Wallahu A’lam.
Penelitian Ulama Terhadap Hadits-Hadits Tentang Bulan Rajab
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah , Beliau berkata:
وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ، فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ، بَلْ مَوْضُوعَةٌ، لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا، وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ، بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ
Ada pun mengkhususkan puasa Rajab, maka semua hadits-haditsnya adalah dhaif bahkan palsu, para ulama tidak berpegang sedikit pun terhadapnya, dan itu bukanlah termasuk dhaifnya riwayat tentang masalah keutamaan (fadhaail), bahkan umumnya adalah palsu lagi dusta (Al Fatawa Al Kubra, 2/478, Majmu Fatawa, 25/290)
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah, berkata:
كل حديث في ذكر صيام رجب وصلاة بعض الليالي فيه فهو كذب مفترى
Semua hadits yang menyebutkan tentang puasa Rajab dan shalat pada sebagian malam-malamnya adalah dusta. (Al Manar Al Muniif, Hal. 96)
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah, mengatakan:
قال ابن حجر : لم يرد في فضله، ولا في صيامه، ولا في صيام شئ منه معين، ولا في قيام ليلة مخصوصة منه، حديث صحيح يصلح للحجة.
“Tidak ada hadits yang menyebutkan keutamaannya, tidak pula keutamaan puasanya, tidak ada puasa khusus pada Rajab, tidak juga shalat malam secara khusus, dan hadits shahih lebih utama dijadikan hujjah (dalil).” (Dikutip oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, 1/453)
Imam Ibnu Hajar juga berkata dalam Kitab Tabyinul ‘Ajab, sebagaimana dikutip oleh Imam Abdul Hay Al Luknawi:
أما الأحاديث الواردة في فضل رجب أو صيامه أو صيام شيء منه فهي على قسمين ضعيفة وموضوعة
“Adapun hadits-hadits yang ada tentang keutamaan Rajab atau puasanya atau sedikit puasa pada bulan Rajab, terdiri atas dua bagian; yaitu dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).” (Al Atsar Al Marfu’ah fil Akhbar Al Maudhu’ah, hal. 59)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah, berkata:
وأما الصيام فلم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه
Ada pun puasa, tidak ada yang shahih sedikit pun tentang keutamaan puasa Rajab dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dan tidak pula dari sahabat-sahabatnya. (Al Latha-if Al Ma’arif, Hal. 228)
Imam Al Munawi Rahimahullah berkata:
بل عامة الأحاديث المأثورة فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم كذب
“Bahkan umumnya hadits-hadits tentang keutamaan Rajab adalah dusta.” (Faidhul Qadir, 4/24)
Imam Muhammad bin Manshur As Sam’ani Rahimahullah, mengatakan:
لم يرد في استحباب صوم رجب على الخصوص سنة ثابتة، والأحاديث التي تروى فيه واهية لا يفرح بها عالم
Tidak ada riwayat dalam sunah yang tsabit (kuat) tentang anjuran puasa Rajab secara khusus, dan hadits-hadits yang diriwayatkan tentangnya adalah lemah dan tidak cukup membahagiakan para ulama. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/331)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
وصيام رجب، ليس له فضل زائد على غيره من الشهور، إلا أنه من الاشهر الحرم. ولم يرد في السنة الصحيحة: أن للصيام فيه فضيلة بخصوصه، وأن ما جاء في ذلك مما لا ينتهض للاحتجاج به
Puasa Rajab, tidak memiliki kelebihan apa pun dibanding bulan-bulan lainnya, hanya saja dia termasuk bulan-bulan haram. Tidak ada dalam sunah yang shahih tentang bahwa puasa pada bulan tersebut memiliki keutamaan khusus, ada pun riwayat yang menyebutkan tentang hal itu tidak kuat dijadikan sebagai hujjah. (Fiqhus Sunnah, 1/453)
Sebagai contoh:
“Sesungguhnya di surga ada sungai bernama Rajab, airnya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa Rajab satu hari saja, maka Allah akan memberikannya minum dari sungai itu.” (Status hadits: batil. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 1898. Imam Ibnul Jauzi mengatakan: tidak shahih. Imam Adz Dzahabi mengatakan: batil. Lihat Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad, Asnal Mathalib, Hal. 86)
“Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu sya’ban, malam Jumat, malam idul fitri, dan malam hari raya qurban.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 1452. Lihat juga Syaikh Khalid bin Sa’ifan, Ma Yatanaaqaluhu Al ‘Awwam mimma Huwa Mansuub li Khairil Anam, Hlm. 14)
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400. Imam Al Munawi mengutip dari Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: dhaif jiddan – sangat lemah. Lihat Faidhul Qadir, 4/24)
“Dinamakan Rajab karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708. Lihat juga Imam As Suyuthi, Al Jami’ Ash Shaghir No. 4718)
Dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti shalat raghaib (12 rakaat) pada hari Kamis ba’da maghrib di bulan Rajab (Ini ada dalam kitab Ihya Ulumuddin-nya Imam Al Ghazali). Segenap ulama seperti Imam An Nawawi mengatakan ini adalah bid’ah yang buruk dan munkar, juga Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Nuhas, dan lainnya mengatakan hal serupa).
Sekadar ingin berpuasa di Bulan Rajab? Boleh!
Walau demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan larangan ibadah-ibadah secara global. Melakukan puasa, sedekah, memotong hewan untuk sedekah, dan amal shalih lainnya adalah perbuatan mulia dan dianjurkan, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa pada hari-hari terlarang puasa).
Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa Senin Kamis dan ayyamul bidh (tanggal 13,14,15 bulan hijriah), sebab ini semua memiliki perintah secara umum dalam syariat.
Tidak mengapa puasa di bulan Rajab karena mengikuti perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara umum untuk shaum di bulan-bulan haram.
Tidak mengapa sekadar memotong hewan untuk disedekahkan, yang keliru adalah meyakini dan MENGKHUSUSKAN ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab, dan tidak pada bulan lainnya.Jika seperti ini, maka membutuhkan dalil shahih yang khusus, baik Alquran atau As Sunnah yang shahih.
Imam An Nawawi mengatakan:
وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْيٌ وَلَا نَدْبٌ لِعَيْنِهِ ، وَلَكِنَّ أَصْلَ الصَّوْمِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ ، وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم ، وَرَجَب أَحَدهَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Tidak ada yang shahih tentang larangan berpuasa pada bulan Rajab, dan tidak shahih pula mengkhususkan puasa pada bulan tersebut, tetapi pada dasarnya berpuasa memang hal yang disunahkan. Terdapat dalam Sunan Abu Daud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan berpuasa pada asyhurul hurum (bulan-bulan haram), dan Rajab termasuk asyhurul hurum. Wallahu A’lam (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/39)
Hadits yang dimaksud Imam An Nawawi berbunyi:
عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا
Dari Mujibah Al Bahili, dari ayahnya, atau pamannya, bahwasanya dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia pergi. Kemudian mendatangi lagi setelah satu tahun lamanya, dan dia telah mengalami perubahan baik keadaan dan penampilannya.
Dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau mengenali aku?” Nabi bertanya: “Siapa kamu?” Al Bahili menjawab: “Saya Al Bahili yang datang kepadamu setahun lalu.” Nabi bertanya: “Apa yang membuatmu berubah, dahulu kamu terlihat baik-baik saja?”
Al Bahili menjawab: “Sejak berpisah denganmu, saya tidak makan kecuali hanya malam.” Bersabda Rasulullah: “Kanapa kamu siksa dirimu?”, lalu bersabda lagi: “Puasalah pada bulan kesaabaran, dan sehari pada tiap bulannya.”
Al Bahili berkata: “Tambahkan, karena saya masih punya kekuatan.” Beliau bersabda: “Puasalah dua hari.” Beliau berakata: “Tambahkan.” Beliau bersabda: “Puasalah tiga hari.” Al Bahili berkata: “Tambahkan untukku.” Nabi bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya). Beliau berkata dengan tiga jari jemarinya, lalu menggenggamnya kemudian dilepaskannya. (HR. Abu Daud No. 2428, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8209, juga Syu’abul Iman No. 3738. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: sanadnya jayyid. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/453. Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)
Kebolehannya semakin terlihat berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, sebagai berikut:
Dari Utsman bin Hakim Al Anshari, beliau berkata:
سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَق
ُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ
Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubeir tentang shaum pada bulan Rajab, saat itu kami sedang berada pada bulan Rajab, Beliau menjawab: “Aku mendengar Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa (pada bulan Rajab) sampai-sampai kami mengatakan Beliau tidak meninggalkannya, dan Beliau pernah meninggalkannya sampai kami mengatakan dia tidak pernah berpuasa (Rajab). (HR. Muslim No. 1157)
Oleh karenanya, mayoritas para imam membolehkan berpuasa pada bulan Rajab secara umum, selama dia tidak mengkhususkan, mengistimewakan, dan menspesialkannya melebihi bulan lainnya.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا الاستدلال أنه لا نهى عنه ولا ندب فيه لعينه بل له حكم باقي الشهور
Secara lahiriah, maksud dari Sa’id bin Jubeir dengan pendalilan ini adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab, tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/38-39)
Jumhur ulama – imam tiga madzhab- membolehkannya, sementara kalangan Hanabilah (Hambaliyah) memakruhkannya (Lihat Al Fiqhu ‘alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/895), sebagaimana itu juga pendapat Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu [1] dan anaknya, Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu. [2]
Berkata Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:
ومن خلال هذه النقول يتضح لنا جلياً أن المسألة خلافية بين العلماء، ولا يجوز أن تكون من مسائل النزاع والشقاق بين المسلمين، بل من قال بقول الجمهور من العلماء لم يثرب عليه، ومن قال بقول الحنابلة لم يثرب عليه.وأما صيام بعض رجب، فمتفق على استحبابه عند أهل المذاهب الأربعة لما سبق، وليس بدعة.
ثم إن الراجح من الخلاف المتقدم مذهب الجمهور لا مذهب الحنابلة.
Pada masalah ini, kami katakan bahwa telah jelas perkara ini telah diperselisihkan para ulama, dan tidak boleh masalah ini menjadi sebab pertentangan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Bahkan, siapa saja yang berpendapat seperti jumhur ulama dia tidak boleh dicela, dan siapa saja yang berpendapat seperti Hanabilah dia juga tidak boleh dicela. Ada pun berpuasa pada sebagian bulan Rajab, maka telah disepakati kesunahannya menurut para pengikut empat madzhab sebagaimana penjelasan lalu, itu bukan bid’ah
Kemudian, sesungguhnya pendapat yang lebih kuat dari perbedaan pendapat sebelumnya adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Hanabilah. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 28322)
Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al ‘Atirah) pada bulan Rajab, telah terjadi perbedaan pendapat di dalam Islam. Imam Ibnu Sirin mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang dikutip oleh Hambal.
Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits shahih: “Tidak ada Al Fara’ dan Al ‘Atirah.” (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif Hal. 117)
Namun, jika sekadar ingin menyembelih hewan pada bulan Rajab, tanpa mengkhususkan dengan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa dilakukan.
Karena Imam An Nasa’i meriwayatkan, bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اذبحوا لله في أي شهر كان
“Menyembelihlah karena Allah, pada bulan apa saja.” (HR. An Nasa’i, hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208)
Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya’ban dan Ramadhan?
Tidak ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar diucapkan manusia yakni: Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’ban, wa ballighna ramadhan, adalah hadits dhaif (lemah).
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.”
(Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan Berkahilah kami di bulan Ramadhan).
(HR. Ahmad, No. 2346. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3815. Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 659. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 6/269)
Dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.
Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.” Abu Ahmad Al Hakim mengatakan: “haditsnya tidak kokoh.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hlm. 305)
Imam Al Haitsami berkata tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hlm. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)
Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536)
Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah al Mashabih, Juz. 1, Hal. 306, No. 1369. Lihat juga Dhaiful jami’ No. 4395), begitu pula Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnaduhu dhaif (isnadnya dhaif). (Lihat Musnad Ahmad No. 2346. Muasasah Ar Risalah)
Walau hadits ini dhaif, tidak mengapa sekadar membaca doa seperti di atas dengan syarat seperti yang digariskan para ulama terhadap masalah fadhailul a’mal:
1. Tidak ada perawi yang tertuduh pendusta atau pemalsu hadits.
2. Isinya tidak bertentangan dengan tabiat umum agama Islam.
3. Tidak menganggapnya sebagai doa dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Sebab, berdoa dengan membuat redaksi sendiri juga dibolehkan selama isinya tidak bertentangan syariat.
Anggaplah ini doa bagus yang kita pinjam redaksinya. Lalu, sebaiknya jangan membiasakan doa ini tanpa menjelaskan kedudukannya sebagai doa yang tidak valid dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sebab, mentradisikan dan mengulang-ulangnya setiap tahun, akan terbuka peluang bagi pikiran sebagian manusia bahwa ini adalah sunah nabi, atau paket yang sudah menjadi pakem khusus ketika menjelang Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan.
Tentunya ini keliru khawatir dusta atas nama Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, kelemahannya mesti dijelaskan agar manusia tidak terkecoh. Wallahu A’lam. [ind/Cms]