USTAZ Farid Nu’man Hasan menjelaskan tentang larangan membuang hajat menghadap kiblat. Dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Jika kalian datang ke tempat BAB maka janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, tetapi hendaknya ke Timur atau ke Barat. (HR. Bukhari no. 394)
Hadits ini menunjukkan larangan buang hajat, istinja, sambil menghadap kiblat atau membelakanginya. Tapi, apakah makna larangan ini?
Baca Juga: Melindungi Diri Atau Menjauh Jika Buang Hajat
Larangan Membuang Hajat Menghadap Kiblat
Kalangan Hanafiyah mengatakan itu sebagai makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) secara mutlak, dan larangan ini juga berlaku untuk cebok, yang juga makruh tahrim menghadap atau membelakangi kiblat. (Syaikh Abdurrahman Al Jaziyri, Al Fiqhu ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/77)
Sementara Imam Al Karmani menyebut madzhab-nya Abu Ayyub Al Ansari Radhiallahu ‘Anhu, adalah mengharamkan hal ini, baik buang hajatnya di bangunan atau di gurun, sama saja. (Imam Al Karmani, Al Kawakib Ad Durariy, 4/57)
Ini juga pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri. (Imam Al Khatabi, Ma’alim As Sunan, 1/16)
Sedangkan mayoritas ulama justru mengatakan bahwa tidak apa-apa (boleh) buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya, yaitu jika ada penghalang atau tembok, dalilnya karena Nabi pernah melakukan juga sebagaimana dalam riwayat Imam At Tirmidzi dari Jabir bin Abdillah. Berikut ini haditsnya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ، فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا.
“Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Nabi ﷺ melarang menghadap arah kiblat ketika hendak kencing, namun aku melihat beliau setahun sebelum wafat menghadap arah kiblat.” (HR. At Tirmidzi no. 9)
Bagi mereka, larangan pada hadits Abu Ayyub yg diriwayatkan Imam Bukhari di atas adalah jika melakukannya di bangunan yang tidak dirancang untuk BAB, atau tanpa penghalang seperti di gurun, sehingga langsung menghadap atau membelakangi kiblat. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/311)
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal tetap menyatakan terlarangnya menghadap kiblat walau terhalang dinding, tapi jika membelakangi boleh.
Imam At Tirmidzi Rahimahullah menjelaskan:
قَالَ أَبُو الْوَلِيدِ الْمَكِّيُّ: قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ الشَّافِعِيُّ: إِنَّمَا مَعْنَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا، إِنَّمَا هَذَا فِي الْفَيَافِي، فَأَمَّا فِي الْكُنُفِ الْمَبْنِيَّةِ لَهُ رُخْصَةٌ فِي أَنْ يَسْتَقْبِلَهَا، وَهَكَذَا قَالَ إِسْحَاقُ.
وقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنَّمَا الرُّخْصَةُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اسْتِدْبَارِ الْقِبْلَةِ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، فَأَمَّا اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ فَلاَ يَسْتَقْبِلُهَا، كَأَنَّهُ لَمْ يَرَ فِي الصَّحْرَاءِ وَلاَ فِي الْكُنُفِ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ.
“Abu Al Walid Al Makki berkata; Abu Abdullah Muhammad bin bin Idris Asy Syafi’i berkata; “Hanya saja makna dari sabda Nabi : “Janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil” adalah di tempat yang terbuka.
Adapun jika di dalam bangunan yang tertutup maka di sana ada keringanan untuk menghadap ke arah kiblat.” Seperti ini pula yang dikatakan oleh Ishaq bin Ibrahim.
Sedangkan Ahmad bin Hanbal Rahimahullah mengatakan; “Keringanan ketika buang air besar atau kecil dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam itu hanya untuk membelakanginya, adapun menghadap ke arahnya tetap tidak diperbolehkan.”
Seakan-akan Imam Ahmad tidak membedakan di padang pasir atau dalam bangunan yang tertutup untuk menghadap ke arah kiblat.” (Sunan At Tirmidzi no. 8)
Imam Al Khathabi Rahimahullah mengatakan: “Menurut Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, larangan tersebut adalah jika buang hajatnya di gurun (lapang terbuka), ada pun jika di bangunan tidak apa-apa menghadap kiblat. Ini juga pendapat Malik dan Asy Syafi’i.” (Imam Al Khathabi, Ma’alim As Sunan, 1/16
Lalu Al Khathabi berkata: “Aku berkata: pendapat yang diikuti oleh Ibnu Umar dan para fuqaha adalah lebih utama diikuti, sebab pendapat itu menggabungkan beragam riwayat yang berbeda, dan menggunakan beragam perspektif. Ada pun pendapat Abu Ayyub dan Sufyan Ats Tsauri telah menafikan sebagian riwayat dan menggugurkannya.”
Maka, menurut jumhur (mayoritas) ulama tidak apa-apa menghadap kiblat atau membelakanginya jika kita melakukannya di dalam WC yang saat ini kita kenal, sebab itu dirancang untuk BAB dan ada dinding penghalangnya, sehingga tidak langsung menghadap atau membelakangi kiblat sebagaimana di lapangan terbuka, sawah, dan gurun.
Demikian. Wallahu A’lam. [Ind/Cms]