CEMBURU itu lazim. Setiap cinta sejati akan memberikan dampak antibodi berupa cemburu. Tanpa cemburu, cinta tak lebih dari sekadar basa basi.
Suami istri mana pun ingin hidup selalu dalam harmonis. Saling cinta dan saling melengkapi. Tapi, adakalanya cinta memberikan sinyal gangguan. Dan sinyal itu bisa disebut dengan cemburu.
Berikut ini tips agar suami istri bisa menyiasati cemburu. Antara lain:
Satu, jangan malu karena merasa cemburu.
Sebagian orang ada yang menyembunyikan rasa cemburu. Ia pendam rasa itu seolah telah melakukan hal yang tabu.
Padahal, justru cemburu pertanda bahwa cinta begitu membara. Dan ketika ada ‘gangguan’ cemburu yang akhirnya bicara.
Ungkapkan saja bahwa ada cemburu karena ini dan itu. Tentu diungkapkan di saat yang tepat, serius, dan hanya berdua.
Di saat itu pula akan ada klarifikasi. Benarkah sinyal cemburu yang muncul itu, atau hanya salah tangkap rasa saja.
Dalam hal ini, jangan ada dusta di antara kita. Harus jujur apa adanya. Jika memang ada kekeliruan, ruang untuk minta maaf tentu menjadi solusi.
Dua, jangan stigmakan cemburu dengan curiga.
Stigma itu cap buruk. Begitu pun dengan cemburu. Jangan cap buruk cemburu dengan sikap negatif yang disebut dengan curiga. Dalam bahasa gaulnya disebut curigation.
Curiga ini dianggap buruk karena bisa berangkat dari su’uzhon atau buruk sangka. Padahal, cemburu bukan buruk sangka. Karena yang muncul dari rasa cinta tidak akan ada yang negatif, termasuk cemburu.
Contoh curiga dengan cemburu itu berbeda antara lain: curiga mencuri, curiga berbohong, curiga menipu, dan lainnya. Tapi cemburu hanya soal munculnya indikasi percabangan hati dan cinta.
Cemburu hanya indikasi adanya hati lain di ujung sana. Dan ujung itu begitu jauh sehingga tak begitu terlihat, tapi bisa dirasakan. Curiga itu dosa. Tapi cemburu itu mulia.
Tiga, jangan biarkan cemburu berlarut-larut.
Ada cemburu yang disembunyikan dan hal itu harus diungkapkan dengan cara bijaksana. Tapi, ada cemburu yang disepelekan.
Orang yang menyepelekan cemburu menganggap bahwa indikasi cemburu itu bukan hal yang serius. Misalnya, wajar lawan jenis saling berjumpa, wajar lawan jenis saling berkomunikasi intensif, dan lainnya.
Ini bahkan dilarang agama. Istilah itu disebut dayus. Atau orang yang kehilangan rasa cemburu. Dia tidak peduli suami atau istrinya jalan dengan siapa pun yang disebut ‘teman’.
Empat, cemburu itu harus diselesaikan bukan saling berbalas.
Ketika sinyal cemburu muncul, beranikan diri untuk mengungkapkan ‘protes’. Ini penting agar kekeliruan bisa diredam saat masih benih.
Bukan saling berbalas. Artinya, ketika seseorang cemburu dengan pasangannya, ia tidak meluruskan. Tapi malah memunculkan cemburu lain yang datang dari pihaknya. Hal ini semacam pembalasan bahwa cemburu itu nggak enak.
Ini berbahaya, selain juga dilarang agama. Jadi, luruskan dengan cara bijaksana. Bukan justru “berperang” dengan penyimpangan yang sama. [Mh]