HATI tak bisa dilihat. Tapi bisa dirasakan. Salah satunya dari pancaran wajah seseorang.
Anak kecil itu lucu. Imut dan menggemaskan. Memandang wajah mereka seperti memandang rembulan di saat purnama. Sejuk dan menenangkan.
Kalau pun mereka bertingkah ‘nakal’, tetap akan menyisakan reaksi senyum dan kelucuan. Jangankan ketika tersenyum, cemberut pun anak kecil tetap menarik untuk dilihat. Kenapa?
Karena mereka masih suci. Hati mereka sangat bersih. Seperti warna putih yang begitu mudah memantulkan cahaya, seminim apa pun cahaya itu.
Bandingkan dengan orang dewasa kebanyakan. Jangankan cemberutnya, tersenyumnya saja mencurigakan.
Kenapa? Karena wajah merupakan rembesan keadaan hati seseorang. Dan orang dewasa kebanyakan boleh jadi hatinya sudah menempel banyak ‘polusi’.
Ada dosa kepada Allah subhanahu wata’ala. Ada dosa kepada orang tua. Ada dosa kepada sesama keluarga, tetangga, teman, dan apalagi orang kebanyakan.
Ketika yang menempel di hati terus bertambah dan mengendap, maka yang tadinya sekadar ‘polusi’ berubah menjadi karat. Seperti karat pada besi yang sulit dibersihkan.
Hal ini Allah firmankan dalam Surah Al-Muthaffifin ayat 14. “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.”
‘Polusi’ dan apalagi karat inilah yang menjadikan hati tak lagi mampu memancarkan cahaya melalui wajah. Yaitu cahaya atau rahmat Allah yang terpancar luas di alam raya.
Dari rahmat Allah inilah kita begitu terkagum-kagum dengan keindahan panorama alam. Terbuai dengan keelokan landscape pantai nan mempesona. Hanyut dalam keheningan gemericik air ala sungai pegunungan.
Itulah cahaya atau rahmat Allah yang terpancar dalam hati yang jernih. Jangan heran jika anak-anak kecil begitu mudah menghafal ayat-ayat Al-Qur’an daripada orang dewasa.
Suatu kali Imam Syafi’i pernah mengalami kerusakan hafalan. Padahal biasanya apa pun yang dibaca dan didengar beliau selalu menempel dalam hatinya. Begitu kuat. Kenapa bisa rusak?
Guru beliau mengajarkan bahwa itulah maksiat. Tinggalkan maksiat. Karena maksiat bisa menutupi hati dari pancaran cahaya Allah.
Lalu, perhatikan wajah-wajah orang yang biasa ke masjid dengan mereka yang jauh dari ibadah. Adakah perbedaannya?
Ya, orang yang biasa ke masjid dan terbiasa dengan ibadah begitu akrab dengan air wudhu. Air ini bukan sekadar membersihkan fisik saja, tapi juga kotoran di hati.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan. “Apabila seseorang berwudhu kemudian membasuh wajahnya, maka akan keluar segala dosa dari matanya bersama tetesan air di wajahnya.
“Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar dosa dari tangannya bersama tetesan air dari tangannya.
“Apabila ia mencuci kedua kakinya, maka akan keluar dosa dari kakinya bersama tetesan air dari kakinya.” (HR. Muslim)
Jadi, jika ingin memiliki wajah yang enak dipandang, sejuk dilihat, dan nyaman didekati; jangan sekadar bersihkan bagian wajah. Tapi, sucikan hati.
Karena wajah merupakan rembesan keadaan hati. [Mh]