ChanelMuslim.com- Nikah itu bukan untuk satu dua hari. Bukan juga untuk satu dua tahun. Tapi buat selamanya, seumur hidup. Bahkan dilanjutkan lagi di surga nanti, insya Allah. Karena itu nggak ada nikah tanpa sayang. Sayanglah yang bikin waktu lama itu menjadi sangat singkat.
Semua yang nikah pasti ingin bahagia. Suami ingin bahagia, begitu juga istri. Bahagia seperti cita-cita yang mesti dilalui dengan tangga yang namanya sayang.
Kalau nikahnya masih baru tangga sayangnya masih landai. Dikit-dikit sayang. Bentar-bentar juga sayang. Di tangga itu, sayang jadi kata yang paling favorit. Nyaris nggak ada obrolan pengantin baru itu tanpa kata sayang.
Seiring pergantian waktu, tangga sayang pun terus nanjak. Tenaga yang mesti dikeluarkan buat tangga sayang jadi makin berat. Tidak heran jika kata sayang mulai kurang terdengar.
Bukan cuma waktu yang bikin sayang menjadi hambar. Derasnya tiupan angin saat di atas ketinggian tangga sayang pun ikut membuat sayang terus larut dalam air suka duka kehidupan.
Musim Susah Senang
Hidup ini cuma berada di dua musim. Musim susah dan musim senang. Semua orang nggak akan bisa menghindar dari dua musim ini. Termasuk juga perjalanan pasangan suami istri.
Inilah bentuk lain dari ujian sayang selain tangga waktu yang mau tidak mau harus ditapaki semua orang. Ujian dua musim ini memang sangat relatif bagi setiap pasangan.
Ada yang musim senang menjadi sangat menguntungkan. Artinya, cita-cita bahagia seolah sudah ada di depan mata. Rumah besar, kendaraan bagus, perabot serba canggih, pelayan banyak, anak-anak terpenuhi kebutuhannya.
Saat itulah, sayang seolah bersemi kembali. Jauh terucap sayang, dekat apalagi. Dunia saat itu sudah seperti surga sebenarnya.
Namun sebaliknya, musim senang justru seperti horor buat sebagian yang lain. Gara-gara semua serba terpenuhi, hasrat lebih suami pun ingin juga dipenuhi. Uang banyak, istri cuma satu. Ah, apa salahnya kalau nikah lagi. Dapat yang lebih muda, tentu lebih senang.
Senang memang buat suami. Tapi buat istri, justru menjadi horor di siang bolong. Kata sayang pun berpindah ke pihak lain. Sementara sang istri lama, terus dalam bayang-bayang kehilangan sayang. Kalau ujian ini nggak mampu diolah dengan bijaksana, dampaknya bisa gawat. Bukan hanya bahtera rumah tangga yang terancam pecah, anak-anak pun terombang-ambing di samudera kebingungan.
Begitu pun dengan musim susah. Untuk sebagian orang, musim susah menjadi momen yang penuh makna. Kedua bisa introspeksi, saling bermuhasabah. Apa yang salah dari keduanya. Apa yang kurang berkenan di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Saat itulah, musim susah menjadi sesuatu yang baik buat suami dan juga istri. Dunia seperti tak ada penghuni lain kecuali mereka berdua. Berlalunya hari-hari menjadi begitu bermakna. Jauhnya tarikan dunia justru mengalihkan energi mereka untuk saling sayang di semua kesempatan.
Namun, tidak begitu untuk pasangan yang lain. Musim susah justru menjadi ruang gelap yang sangat menakutkan. Semua gerak-gerik menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Bentar-bentar marah, emosi, ngambek dan sejenisnya.
“Kenapa aku terima dia. Coba kalau waktu itu aku tolak, mungkin nasibnya nggak kayak gini,” begitulah suara hati yang berbisik halus tapi sangat menusuk.
Kalau ini nggak cepat-cepat disikapi dengan dewasa. Disikapi dengan pemahaman takdir yang benar, bahwa qadarullah wamaa syaa’a fa’ala: semua sudah ditakdirkan Allah, apa yang Ia kehendaki maka terlaksanalah. Niscaya, bukan soal bahtera rumah tangga yang pecah nggak karuan. Tapi iman Islam pun bisa menguap entah kemana. Na’udzubillah.
Inilah hidup. Inilah dinamika rumah tangga. Tapaki anak-anak tangga itu dengan tawakal. Bahwa, susah senang bukan sekadar pergantian musim. Melainkan lahan pahala untuk bisa diraih dengan bijaksana.
Tak peduli di musim susah. Tak peduli di musim senang. Dan tak peduli sejauh mana pun perjalanan bahtera rumah tangga mengarungi samudera kehidupan. Yang penting, sayang selalu menghias dan terucap di saat apa pun.
Betapa indahnya momen terakhir perjumpaan dua kekasih teladan di ujung kehidupan. Ketika kepala Khadijah radhiyallahu ‘anha berada di pangkuan suami tercinta, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain deklarasi iman dan Islam, hembusan nafas terakhir yang ditangkap keduanya seolah berujar pelan, “Sayang…” (Mh)