ChanelMuslim.com- Dari dua menjadi satu butuh penyesuaian. Jika tidak, hasilnya akan tetap dua. Atau bahkan bisa nol.
Ikatan pernikahan menyatukan pria dan wanita menjadi satu cinta. Satu hati. Satu selera. Satu arah. Dan satu cita-cita.
Proses penyatuan ini boleh jadi tidak mudah. Karena masing-masing berasal dari latar belakang yang berbeda. Dari pola asuh yang tidak sama. Dan dari kecenderungan yang tak serupa.
Namun semua latar yang tak sama itu tidak berarti sulit menyatu. Apalagi dianggap mutahil. Memang butuh kesabaran dan lapang dada.
Beberapa hal berikut ini boleh jadi bisa menjadi masukan agar proses penyatuan bisa berjalan mulus.
Penyesuaian Harus Dua Arah
Penyesuian bukan tanda kekalahan. Melainkan, sebuah langkah menuju keseimbangan. Karena itu, baik suami maupun istri harus sama-sama melangkah menuju titik kestabilan.
Ini menunjukkan bahwa penyesuaian atas kesadaran bersama. Bukan suami saja, atau istri sendiri.
Menariknya, langkah penyesuaian masing-masing pihak tidak bisa didikte atau diatur secara teoritis. Seperti, kamu harus begini dan saya akan begitu.
Melainkan, terjadi berdasarkan respon yang terjadi di masing-masing pihak. Contoh, suami yang menyikapi istrinya yang super lembut. Bicaranya hati-hati, tata bahasanya diatur sedemikian rupa agar ucapan yang terlontar tidak mengusik orang lain.
Menyikapi hal ini, suami harus bisa melakukan penyesuaian. Walaupun ia berasal dari keluarga egaliter yang biasa ceplas-ceplos dan bergerak “semaunya”, kebiasaan ini harus segera berubah. Setidaknya, bisa lebih soft dari biasanya saat ia belum menikah.
Begitu pun ketika istri yang berjodoh dengan suami perfect dengan kebersihan. Ia biasa mandi minimal dua kali sehari. Baju bersalin minimal tiga kali sehari: baju pagi, baju kerja, dan baju tidur. Dan seterusnya.
Padahal, sebelum menikah, istri biasa tinggal sebagai anak kos-kosan. Saat kuliah kos, setelah bekerja pun tetap menjadi anak kos.
Umumnya anak kos, jadwal mandi tak tentu. Kerapihan dan kebersihan ruangan pun tak begitu menjadi prioritas. Seolah mottonya: ia sendiri yang mengerjakan, ia sendiri yang merasakan, dan ia sendiri yang membereskan.
Di ruang kos nyaris tak ada orang lain selain dirinya. Nggak ada orang tua. Nggak ada tetangga yang kepo. Dan nggak ada tamu yang suka lihat-lihat ruangan.
Bayangkan jika dua habit ini bertemu tanpa penyesuaian. Hal tersebut bisa memunculkan ketegangan baru yang tidak perlu.
Namun, penyesuaian tidak dilakukan satu arah saja. Misalnya, istrinya saja yang berubah dari dunia kos-kosan ke dunia rumah tangga yang serba perfect. Begitu pun sebaliknya di sisi suami.
Dua-duanya harus bergerak melangkah. Istri menyudahi kebiasaan “serba praktis” ala anak kos. Dan suami menyuadahi serba perfect ala petugas kesehatan. Penyesuaian dilakukan secara fleksibel seiring dengan respon dua sisi selama interaksi. [Mh/bersambung]