OLEH: Maimon Herawati. Artikel ini membahas mengenai perempuan cerdas untuk lelaki pintar dan pentingnya pendidikan bagi perempuan dari sudut pandang seorang istri dan ibu.
Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi. Lulusan madrasah tsanawiyah sudah sangat baik, asal tidak buta huruf saja.
Seorang perempuan yang cara pandang dunianya sempit akan mudah diatur diarahkan, serta dibimbing: Tertanda, Seorang Lelaki.
Sungguh terpana. Logika tulisan di atas, perempuan yang cara pandang dunianya luas akan sulit diatur, diarahkan, serta dibimbing.
Perempuan lulusan MTs lebih disukai sebagai istri karena akan mudah diatur dan dibimbing, oleh karena itu, rumah tangga mereka akan harmonis.
Dengan demikian pernikahan mereka (lelaki dengan perempuan lulusan MTs) akan bertahan lebih lama.
Sebaliknya, perempuan berpendidikan tinggi sulit diarahkan sehingga rumah tangga akan kacau balau penuh masalah. Ujungnya adalah perceraian.
Apa betul?
Baca juga: Maimon Herawati Luncurkan Petisi untuk Hentikan Iklan Blackpink
Perempuan Cerdas untuk Lelaki Pintar
Penelitian PEW Research Center Amerika pada 2015 menunjukkan bahwa 78 % perempuan berpendidikan S-1 akan bisa mempertahankan pernikahan mereka selama 20 tahun.
Perempuan yang lulusan SMA atau lebih rendah dari itu hanya 40 % yang bisa bertahan selama 20 tahun.
Lebih separuh perempuan berpendidikan SMA atau lebih rendah artinya akan bercerai sebelum masa pernikahan mencapai usia 20 tahun.
Riset ini tidak menelaah lebih dalam apa faktor yang mendukung lebih lamanya pernikahan perempuan berpendidikan tinggi dibanding yang kurang.
Akan tetapi, salah satu fakta yang terlihat adalah perempuan berpendidikan tinggi menikah pada usia lebih dewasa dan secara finansial lebih terjamin dibanding perempuan yang berpendidikan rendah.
Fakta lain yang didapatkan riset ini, perempuan etnis Asia cenderung lebih terdidik dibanding etnis minoritas lainnya.
Hampir 70 persen pernikahan perempuan Asia akan mencapai usia pernikahan 20 tahun, tapi hanya 37% perempuan berkulit hitam yang memiliki usia pernikahan selama 20 tahun.
Menariknya, pasangan yang sudah kumpul kebo sebelum menikah memiliki kemungkinan lebih rendah mencapai usia pernikahan 20 tahun dibanding yang tidak tinggal bersama sebelum menikah.
Ini fakta Amerika ya. Bagaimana dengan fakta lokal?
Riset Asniar Khumas, dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar menyebutkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, semakin rendah intensi atau keinginan bercerai perempuan.
Ini menarik dan senada dengan riset dari Lembaga Amerika di atas. Semakin berpendidikan semakin lama bertahan dalam pernikahan.
Dari pengalaman pribadi dan pengamatan atas lingkungan sekitar, pernikahan bertahan lama jika suami istri memiliki hubungan yang saling melengkapi, saling mengokohkan, bukan hubungan timpang, di mana hanya suami yang berperan mengayuh biduk rumah tangga.
Berkaca pada diri sendiri, sebenarnya ada keinginan bertanya pada suami, apakah saya sulit diatur?
Eh, sebentar, yang mendorong untuk terus menuntut ilmu sampai jenjang tertinggi ya suami.
Saya lalu bertanya padanya, mengapa dulu membujuk untuk terus S-3.
Jawab lelaki ini singkat saja, ‘Ya baguslah.’ Perempuan berpendidikan tinggi itu bagus, ini pendapat suami.
Izinkan menyampaikan kisah dari kehidupan sepasang manusia yang bukan siapa-siapa ini.
Saya lulusan S-1, menikah dengan lelaki lulusan S-2 yang sedang berencana untuk kuliah S-3 di luar negeri.
Saya ikut ke luar negeri menemaninya sebagai ibu rumah tangga dengan bayi usia 4 bulan. Karier di media ditinggalkan, profesi guru di sekolah internasional juga dihentikan.
Sampai di negeri Ratu Elizabeth, saya sungguh menikmati masa-masa berdua dengan bayi, belanja masak main. Suami sibuk riset di kampus.
Lalu hamil anak kedua. Saat kandungan hampir usia enam bulan, suami menyampaikan ada beasiswa S-2 untuk kajian kepalestinaan.
Ayo daftar, dorongnya. Apa? Hamil begini?
Kalau lolos, artinya kuliah full time dengan anak pertama usia dua tahun lebih, yang kedua bayi? Tak sanggup.
Lelaki ini pantang menyerah. Nothing to lose, katanya sambil membawakan buku-buku referensi dari perpustakaan kampusnya. Coba dulu.
Termakan bujuk rayu, proposal saya tulis dan kirim. Cut the story short, Allah ijinkan lulus dan jadilah emak dua balita kuliah master full time di Skotlandia. Gampang? Sulit setengah mati.
Baru selesai S-2, didorongnya lagi untuk lanjut S3. Sedang hamil anak ketiga pula. Ada beasiswa untuk women studies di kampusnya.
‘Sayang kemampuanmu kalau tidak dimanfaatkan.’ Ngeri sebenarnya, mau punya anak tiga. Tapi, lagi-lagi termakan bujukannya, tulis proposal, kirimkan. Masuk shortlisted dan diundang bertemu profesor di kampus. Alhamdulillah.
Masalahnya funding beliau tidak sepadan dengan tuntutan SPP kampus. Profesor ajak bertemu pengacara untuk memperjuangkan penurunan SPP, saya menyerah duluan.
Ibu didiagnosa kanker di tanah air. Anak tiga, satu baru berusia sebulan, ibu kanker, lalu harus berjuang untuk pengurangan SPP? Kibarkan bendera putih.
Mengapa suami demikian percaya diri mendorong istrinya menuntut ilmu tanpa henti?
Ini sesuatu yang tidak pernah kami bahas, sebenarnya. Suami ini juga bukan jenis suami yang senang memuji istri dan anak. Apa yang ada dalam pikirannya, sulit dideteksi.
Hanya saja, ada satu episode yang dari momen itu saya menangkap pandangan suami tentang pasangannya.
Beliau sedang bersama teman-temannya. Mereka membicarakan berbagai kerumitan administrasi di Inggris terkait gas, internet, atau listrik.
Jika ingin mendapatkan harga murah, harus pandai mencari provider bagus. Pemindahan provider ini menuntut komunikasi yang lumayan membuat senewen dengan customer service.
‘Kalau sudah hal ini, saya sih minta ibunya anak-anak yang urus,’ suara itu berbicara seperti sedang tersenyum.
Jadi, begini ternyata. Saya juru bicara/negosiator keluarga terkait urusan dengan customer service. Saya diandalkan untuk adu argumen dengan CS.
Saya rasa jika wawasan dunia seseorang sempit mau jenis kelamin apapun, kemungkinan akan sulit beradu argumen dengan perusahaan di luar negeri terkait hak dan kewajiban pelanggan.
Tentang sulit atau mudahnya istri diarahkan, dibimbing, dan diatur, saya rasa tergantung suaminya.
Jika suami itu cerdas, berwibawa, bijaksana, dewasa, istri ngeyelan seperti saya bisa diatur dan dibimbing.
Lihat saja, saya yang maunya hanya menjadi ibu rumah tangga, dijebloskan eh diarahkan sampai selesai kuliah S-3.
Mungkin, ini mungkin ya, suami yang maunya istrinya level madrasah tsanawiyah kemungkinan kemampuan intelejensia dan wibawanya juga level tsanawiyah.[ind]