ChanelMuslim.com – Istilah Moentji biasa dipakai oleh para tentara Belanda untuk menyebut perempuan pribumi yang menjadi gundiknya. Regie Baay menulis bahwa moentji merupakan plesetan dari kosa kata bahasa Belanda, yakni Mondje (berarti mulut kecil). Istilah tersebut merujuk pada kenyataan para perempuan gundik dalam barak-barak tentara Belanda adalah perempuan penurut, tidak banyak bicara atau protes dengan keadaan dan status mereka. Mereka juga tidak memberontak ketika mendapat perlakuan kasar oleh para serdadu dan pegawai Belanda.
Setelah kemarin kita membahas tentang gambaran perbudakan perempuan Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Setelah perbudakan dihapuskan, VOC membolehkan para pegawai dan tentaranya mengambil perempuan-perempuan pribumi menjadi gundik mereka.
Pergundikan
Panggilan yang paling umum untuk seorang gundik adalah Nyai. Kata nyai didapati dalam bahasa Bali, bahasa Sunda dan bahasa Jawa dengan pengertian ‘perempuan (muda), adik perempuan’, dan juga dipakai sebagai istilah panggilan. Selain itu para gundik juga biasa dipanggil moentji/munci atau Snaar/Snoer (senar/dawai). Sapaan Snaar, di Belanda, biasa dipakai untuk para pelacur, wanita panggilan dan penjaja seks komersial. Para gundik juga disebut meubel (perabot) atau inventarisstuk (barang investasi). Dengan dua istilah itu, para gundik diidentikkan dengan barang-barang, harta benda orang Belanda. Perlakuan terhadap mereka juga sama dengan perlakuan terhadap barang-barang. Para gundik dapat dijual, dilelang seperti barang lainnya ketika para serdadu pergi ke Belanda, atau ketika sudah tidak dikehendaki. Berkaitan dengan peran para gundik yang biasa membantu menerjemahkan dalam komunikasi tuan Belandanya, mereka sering disebut dan disamakan dengan boek (buku) atau woordenboek (kamus).
Moentji berperan sebagai pembantu, teman tidur, istri dan semua peran yang ada. Sementara statusnya berada di antara budak dan pembantu rumah tangga. Merekai bertanggung jawab mengatur seluruh urusan rumah tangga tuan Eropanya. Ia menjadi pemimpin para pembantu rumah tangga. Ketika tuan Eropa meninggalkan rumah, moentji bertanggung jawab sepenuhnya atas rumah dan semua pembantu tuannya. Ia berhak mengaturnya.
Menjadi nyai atau gundik merupakan pilihan untuk memperbaiki taraf hidup. Mereka rata-rata berasal dari keluarga petani miskin. Ada juga yang diambil alih dari rekan pribumi, ada perempuan yang menawarkan diri, atas permintaan para serdadu, atau ditawarkan sebagai nyai oleh keluarga perempuan.
Seorang nyai boleh dikatakan tidak punya hak apa-apa, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak punya hak atas posisinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan oleh majikannya tanpa bantuan dalam bentuk apapun. Di kalangan ketentaraan, nyai kadang diserahkan begitu saja dari seorang tentara kepada lainnya.
Bagi kaum pribumi, menjadi nyai juga sama dengan menjadi pelacur, karena kehidupan bersama dengan lelaki Belanda adalah tidak sah. Lebih dari itu, bagi kaum pribumi, mereka dianggap mengkhianati saudaranya sendiri karena mereka menunjang kebutuhan kolonial. Mereka juga diaggap mengkhianati agama dengan hidup bersama orang kafir, seorang Kristen. Islam adalah agama kebanyakan pribumi sebelum kedatangan Belanda. Hidup bersama dengan lelaki Belanda, yang de facto Kristen tanpa ikatan yang sah menurut agama Islam adalah tindakan yang haram. Dan mereka dikucilkan dari masyarakatnya. (MAY)
*Sumber: Manusia “Bermulut Ketjil” (Kajian Poskolonial tentang Perempuan Indonesia Masa Penjajahan Belanda), Alfons No Embu