ChanelMuslim.com- Menikah itu mudah. Yang berat merawatnya. Terlebih lagi dengan perjalanan yang penuh onak dan duri, jurang dan tanjakan.
Perjalanan rumah tangga itu tidak selalu landai. Tidak jarang, perjalanan yang dilalui begitu berat. Tantangan dan hambatan serasa tak pernah henti terjadi.
Namun begitu, ujian berat itu tidak mengendurkan gerak langkah sejumlah pasangan suami istri untuk terus maju. Di antaranya sosok-sosok berikut ini.
Meski profilnya disamarkan, nilai-nilai yang bisa dipetik dari kegigihan mereka bisa menjadi cermin untuk kita. Berikut ini di antara cuplikannya.
Ketika Suami Pergi
Suami istri itu keseimbangan. Dalam keseimbangan, segala beban terasa ringan. Termasuk beban anak-anak yang lumayan banyak.
Suami istri ini terpaksa berpisah karena ajal. Suami meninggal dunia di saat beban keluarga berada di puncak. Anak ada sebelas, semuanya butuh biaya pendidikan.
Sang istri menikah di usia dua puluh tahun. Saat anak berjumlah sebelas, usianya sekitar empat puluh tiga tahun. Karena anak-anaknya berselang usia sekitar dua tahun.
Ia tipe ibu rumah tangga murni. Tidak pernah bekerja di mana pun. Bekerjanya full di rumah sebagai ibu rumah tangga. Tanpa pembantu atau asisten rumah tangga.
Saat itulah guncangan kecil terjadi. Dari mana ia bisa mendapatkan penghasilan? Sementara, anak sulungnya baru lulus setingkat SMA. Perempuan, lagi. Ia tidak tega kalau anak perempuannya harus bekerja di luar rumah.
Sementara kalau ia yang bekerja di luar, mau kerja apa? Tidak ada pengalaman. Usia pun sudah empat puluh tiga.
Di usia empat puluhan itu, ia masih terlihat cantik. Di sinilah dilemanya. Beberapa pria datang melamar. Ada yang ingin menjadikannya istri sambung karena istri pertamanya wafat. Ada juga yang ingin berpoligami dengan menjadikannya istri kedua.
Ia bingung harus bagaimana. Pasalnya, dari sebelas anaknya, hanya satu yang laki-laki. Sepuluhnya perempuan. Ia paham betul bagaimana perasaan perempuan. Termasuk perasaan anak-anaknya.
Kalau ia menikah lagi, sepuluh puterinya yang masih tinggal serumah, tentu akan sedih dan risih. Tidak mudah melakukan adaptasi untuk anak-anak perempuan yang sudah remaja.
Lagi-lagi, ia bingung harus berbuat apa. Sementara, pengeluaran rumah tangga tak kenal kompromi. Harus ada cara jitu untuk membiayai keluarga besar itu.
Setelah istikharah dan konsul ke orang-orang tua, ia putuskan untuk menolak semua lamaran pria. Soal penghasilan? Ia tersadar kalau dirinya punya keterampilan mengolah kue dan kuliner. Begitu pun dengan beberapa puterinya yang sudah besar.
Setelah dapat modal dari kerabat, sang istri banting setir bisnis kue dan aneka kuliner. Ia tidak membuka toko atau outlet. Ia hanya memproduksi, sementara pemasaran dilakukan dari rumah ke rumah dan via relasi keluarga besar.
Syukurnya, bisnis itu berjalan langgeng. Meskipun tidak pernah besar. Hal ini karena tenaga kerjanya stagnan yaitu puteri-puterinya. Ketika puteri-puterinya satu per satu menikah, berkurang pula stok tenaga kerjanya.
Namun, pilihan itu memperoleh berkah. Meski tidak menghasilkan banyak, setidaknya ia dan anak-anak tidak merasa kekurangan. Semua anaknya terpaksa tidak ada yang kuliah. Kecuali si bungsu. Itu pun karena dibantu kakak-kakaknya yang sudah mandiri.
Allah selalu memberikan jalan dari semua kesulitan. Setelah si bungsu berumah tangga, ia pun dipanggil Allah menyusul sang suami yang lebih dulu pulang.
Satu hal yang ia syukuri. Meski dengan keterbatasan, ia mampu menjaga anak-anaknya dalam akhlak Islam. Dan itulah kebanggaan sekaligus aset termahal dari para suami istri. [Mh]