MENERIMA segala kondisi pasangan merupakan bagian dari memupuk cinta yang abadi dalam rumah tangga. Konselor Keluarga Cahyadi Takariawan menjelaskan mengenai hal ini.
Kekecewaan adalah salah satu penyakit dalam pernikahan. Ada sebuah keluarga yang sudah menjalani kebahagiaan selama limabelas tahun, akhirnya kandas karena kasus perselingkuhan.
Suami berselingkuh dengan perempuan lain, yang akhirnya tidak bisa dimaafkan oleh sang istri. Tak ayal, sang istri menggugat cerai ke pengadilan karena sakit hati merasa dikhianati.
Di keluarga lainnya, mereka sudah happy dalam ikatan pernikahan selama sepuluh tahun. Namun kebahagiaan itu rusak karena sang istri berselingkuh dengan pacar lamanya.
Perselingkuhan mereka berlanjut dan akhirnya ketahuan oleh sang suami. Kisah keluarga itu berakhir dengan talak yang dijatuhkan oleh suami dan dikuatkan di pengadilan.
Apa yang terjadi pada keluarga mereka? Rupanya, setelah menikah mereka sibuk “berkeluarga” namun lupa untuk “bersahabat” dengan pasangan.
Setiap hari suami dan istri bertemu, yang dibicarakan hanya soal biaya belanja bulanan, rekening listrik, tagihan telepon dan internet, biaya sekolah anak-anak, biaya perawatan tubuh dan facial, dan seputar hal seperti itu.
Rutinitas kerja dan rutinitas hidup berumah tangga menyebabkan banyak kalangan pasutri kehilangan perhatian terhadap sisi-sisi kenyamanan hubungan hati.
Bukankah seharusnya pasutri itu berelasi sebagai sahabat, yang saling berbagi dalam suka dan duka, saling curhat, saling memberi nasihat, saling meluangkan waktu untuk berduaan dan menikmati kebersamaan.
Baca Juga: Suami Istri Berjuang Meraih Kemenangan
Menerima Segala Kondisi Pasangan Bagian dari Memupuk Cinta dalam Rumah Tangga
Hendaknya suami istri mampu menjadi sahabat sejati. Coba perhatikan, jika ada dua orang bersahabat, apakah yang biasanya mereka lakukan?
Ada sangat banyak hal mengasyikkan yang biasa dilakukan oleh dua orang bersahabat.
Mereka rela menghabiskan waktu berlama-lama untuk apa saja. Sahabat adalah seseorang yang kita rela betah berlama-lama mendengarkan cerita yang sama.
Sahabat adalah seseorang yang kita rela berkorban untuk menyenangkan dan membahagiakannya. Sahabat adalah seseorang yang kita dengan mudah melakukan aktivitas bersama.
Sahabat adalah seseorang yang kita rela menceritakan semua masalah hidup kita hanya kepada dia. Sahabat adalah seseorang yang kita rela membuka semua aib kita hanya kepadanya.
Sahabat adalah seseorang yang sangat nyaman untuk menjadi tempat curhat kita.
Berbagai macam hal tentang kesedihan dan kebahagiaan bisa disampaikan kepada sahabat dengan leluasa. Tanpa ada perasaan tidak nyaman atau sungkan, karena kuatnya ikatan di antara mereka.
Demikianlah seharusnya suami istri. Mereka bukan sekadar terikat secara legal formal sebagai suami istri, yang dibuktikan dengan kepemilikan buku nikah.
Bahkan istilah suami istri, hanyalah istilah teknis dalam fiqih untuk menunjukkan bahwa mereka telah sah dan halal berinteraksi dan berkegiatan sebagai suami dan istri.
Pada hakikatnya, mereka adalah sahabat sejati, yang saling mencintai, yang saling menyayangi, yang saling menghormati, yang saling menghargai, yang saling memuliakan, yang saling menjaga dalam kebaikan.
Karena suami istri adalah sahabat sejati, semestinyalah mereka saling curhat, saling membuka diri, saling menyampaikan kegelisahan dan kebahagiaan, saling merenda harapan.
Berbagai masalah, berbagai kesulitan, berbagai kesenangan, bisa diobrolkan dengan santai.
Semua bisa diselesaikan dengan nyaman dan menyenangkan bersama pasangan. Semua kegiatan bisa dijalankan dan dinikmati bersama pasangan. Termasuk hobi, minat, dan berbagai kegiatan hidup lainnya.
Suami dan istri harus memiliki tradisi mengobrol dan saling bercerita, tanpa ada perasaan takut atau beban berat. Mengapa demikian? Karena mereka adalah sahabat setia dalam suka dan duka.
Suami dan istri harus leluasa menyampaikan keluhan, perasaan, pikiran, keinginan, harapan, tanpa merasa takut atau khawatir bahwa ceritanya tidak didengarkan.
Hendaknya mereka menyediakan diri untuk selalu bersedia menemani pasangan, mendengarkan ceritanya, dan merenda harapan bersamanya.
Jika suami dan istri tidak bisa saling curhat, atau ada suasana tidak nyaman saat curhat, menandakan mereka belum mencapai kondisi sahabat.
Ketika ada masalah bukan curhat kepada pasangan, justru curhat kepada sahabat yang ada di luar rumah. Justru curhat melalui chatting dengan orang lain.
Saat suami ada masalah, ia memilih diam di rumah atau curhat ke orang lain. Saat istri ada masalah, ia memilih untuk curhat ke sahabat-sahabat sosialita, atau teman di arisan dan pengajian.
Harusnya, sahabat sejati yang dicurhati pertama kali adalah suami atau istri, bukan orang lain.
Hanya sahabat yang bisa menerima apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan. Sahabat tidak menuntut kesempurnaan, karena tidak mungkin ada manusia sempurna.
Sesungguhnya, pernikahan yang bahagia bukanlah ketika seorang lelaki sempurna menikah dengan seorang perempuan sempurna.
Semenjak awal pernikahan, seharusnya sudah ada kesadaran yang tertanam dalam diri suami dan istri, bahwa pasangan hidupnya bukanlah malaikat, bukanlah manusia sempurna yang terbebas dari kelemahan.
Para suami hendaknya menyadari, istri yang dinikahi itu hanyalah perempuan biasa saja, yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan.
Untuk itulah Allah mengutus kamu untuk melengkapi kekurangannya dan memperbaiki sisi kelemahannya.
Para istri hendaklah menyadari, bahwa suaminya hanyalah laki-laki biasa, yang memiliki banyak kekurangan dan kelemahan.
Untuk itulah, Allah mengutus kamu untuk mendampinginya, agar semakin sempurna kebaikannya dan semakin berkurang kelemahannya.
Kamu tidak perlu menjadi sempurna untuk bisa bahagia. Kamu juga tidak memerlukan pasangan yang sempurna untuk bisa bahagia.
Yang kamu perlukan bersama pasangan hanyalah selalu berusaha untuk berproses menjadi lebih baik. Nikmati semua prosesnya. Di situlah letak kebahagiaan hidup berumah tangga.[ind]