MEMUPUK cinta dalam rumah tangga dapat dilakukan salah satunya dengan menempatkan Allah sebagai tujuan berkeluarga. Konselor keluarga Cahyadi Takariawan menjelaskan sebagai berikut.
Coba mari kita simak sejenak data-data berikut ini. Pernikahan Y dengan W pada tanggal 9 Oktober 2012, hanya bertahan 13 jam. Pagi mereka menikah, malam harinya W dicerai.
Pernikahan A dengan F pada tanggal 14 Juli 2012, bertahan 4 hari. Pada tanggal 18 Juli 2012, F dicerai.
Pernikahan A dengan S pada tanggal 13 Maret 2011, bertahan 3 bulan. Mereka resmi bercerai pada tanggal 18 Juni 2011.
Pernikahan C dengan S, pada tanggal 12 Maret 2009, hanya bertahan 4 bulan. Pada bulan Juli 2009, C menggugat cerai suaminya.
Pernikahan D dan M bertahan 12 bulan. Agustus 2014 menikah, dan bercerai pada Oktober 2015. Pernikahan C dan J bertahan 10 bulan. Menikah pada April 2013 dan bercerai pada Januari 2014.
Pernikahan A dan E tak genap satu tahun. Menikah pada Juli 2013 dan bercerai pada April 2014. Pernikahan N dan S hanya bertahan 12 hari saja pada bulan Desember 2019.
Pernikahan K dan I bertahan 3 bulan. Menikah Maret 2020 dan bercerai Juni tahun yang sama. Pernikahan N dan D bertahan 5 bulan. Menikah pada Februari 2018 dan bercerai pada Juli 2018.
Data di atas menunjukkan, ada pernikahan sangat singkat, hanya 13 jam saja. Ada pernikahan hanya beberapa hari, dan ada pernikahan hanya beberapa bulan saja.
Rupanya, pada beberapa kalangan pernikahan hanya disamakan dengan membeli dan memakai sepatu.
Sebagian orang tidak suka sepatu, maka ia lebih memilih berjalan tanpa alas kaki. Ada orang tidak suka sepatu, dan ia memilih sandal.
Sebagian lainnya memilih memakai sepatu dengan gaya dan corak yang sangat beragam.
Ketika seseorang hobi koleksi sepatu, maka ia akan memiliki banyak simpanan dan banyak jenis sepatu. Ia memakai sepatu sesuai situasi dan kondisi. Untuk acara formal, ada sepatu tersendiri yang dikenakan.
Untuk oleh raga, sepatunya berbeda lagi. Untuk acara santai, sepatunya pun khusus. Untuk rekreasi, ada sepatu yang tepat untuk itu.
Ketika bosan dengan satu jenis sepatu, ia akan membuang sepatu itu dengan alasan “sudah kuno”. Atau ia akan mengganti dengan yang lebih baru karena alasan “lebih up to date”.
Ketika ia sudah tidak suka dengan sepatu, dengan cepat membuang dan mencari penggantinya karena alasan “sudah tidak ada kecocokan”.
Sepatupun datang pergi silih berganti. Hari ini membeli sepatu dengan harga mahal, namun hanya bertahan sebulan, setelah itu dibuang untuk membeli sepatu baru dengan alasan “mendapatkan yang lebih cocok”.
Ketika pernikahan dan keluarga dipahami seperti membeli sepatu, maka kejadiannya tidak jauh berbeda.
Hari ini menggelar pesta pernikahan yang mahal, namun hanya bertahan beberapa bulan setelah itu bercerai dan mencari pasangan lain lagi.
Sebagian orang hobi mengoleksi wanita atau lelaki “simpanan”, karena akan digunakan sesuai kebutuhan. Sebagian orang bercerai dengan alasan “sudah tidak ada kecocokan”, atau karena “mencari yang lebih cocok”.
Beberapa kalangan memilih tidak menikah dengan alasan “tidak suka menikah”, dan lebih suka hidup menyendiri.
Ada pula yang memilih tidak menikah dengan alasan agar memiliki kebebasan dalam berganti-ganti pasangan sesuai selera dan kesenangan.
Benar-benar pernikahan hanya dianggap seperti membeli dan mengenakan sepatu. Kapan membeli sepatu, kapan memakai dan kapan membuang sepatu itu, adalah karena selera yang berubah.
Bagaimana langkah untuk membangun dan memupuk cinta abadi antara suami dan istri? Berikut beberapa poin penting untuk dijalankan secara bersama oleh suami dan istri.
Baca Juga: Sebelum Menikah, Calon Pengantin Harus Mempersiapkan Hal Berikut agar Rumah Tangga Harmonis
Memupuk Cinta dalam Rumah Tangga dengan Menempatkan Allah sebagai Tujuan Utama
Bagi insan beriman, pernikahan dan keluarga adalah ibadah. Karena aktivitas ini adalah amanah Ilahi, diatur oleh agama dan negara, maka tidak bisa dianggap sekadar sebagai selera.
Ketika seseorang memutuskan menikah, sepenuhnya ia menyadari tengah melaksanakan misi Ketuhanan, tengah menunaikan risalah kenabian, tengah menjalankan tugas kemanusiaan dan tengah merintis pembangunan peradaban.
Pernikahan adalah ibadah, karena melaksanakan tuntunan Ketuhanan. Tidak semata-mata pilihan selera, ingin menikah atau tidak.
Bukan pilihan gaya hidup, ingin hidup terikat atau hidup bebas. Bukan peristiwa membeli sepatu, ingin yang model terbaru atau model klasik.
Pernikahan merupakan ikatan yang diikrarkan atas nama Allah, dicatat dalam lembar dokumen pemerintahan, disaksikan oleh keluarga dan masyarakat.
Pernikahan merupakan kegiatan sakral yang sekaligus menjadi peristiwa budaya, yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat.
Dengan motivasi ibadah, maka pernikahan menjadi ikatan yang tidak boleh dianggap remeh dan kecil, karena terjadi atas nama Allah.
Beribadah itu harus penuh kesungguhan, bukan sesuai selera sesaat. Inilah motivasi yang akan menyelamatkan keluarga dari penyimpangan dan kehancuran.
Setiap kali ada masalah atau konflik, pertama kali harus dikembalikan kepada motivasi awal pernikahan.
Bukankah pernikahan dan berkeluarga untuk ibadah, lalu mengapa harus dikalahkan oleh persoalan-persoalan kecil yang muncul dalam perjalanan kehidupan?
Mari kita simak kembali orientasi ketuhanan dalam pernikahan. Menikah adalah ajaran syari’ah, yang diperintahkan oleh Allah. Menikah bahkan disebut sebagai ikatan atau perjanjian yang kuat.
وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nur :32).
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا
“Sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (QS. An-Nisa’: 21).
Menikah adalah ajaran para Nabi dan Rasul. Allah telah berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً ۚ وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِىَ بِـَٔايَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38).
Menikah memberikan dampak menguatkan agama bagi pelakunya. Bahkan menikah disebut sebagai separuh agama. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إذا تزوج العبد فقد استكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الباقي
“Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka bertakwalah kepada Allah untuk separuh sisanya” (HR. Al-Baihaqi).
Seluruh aktivitas orang beriman adalah ibadah. Bahkan menikah adalah ibadah yang paling panjang dalam kehidupan manusia.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An’am : 162).
Maka menikah harus berada dalam ketaatan kepada Allah, karena berbagai tujuan mulia dalam pernikahan hanya bisa didapatkan apabila memiliki motivasi ibadah kepada Allah.[ind]
Sumber: Jogja Family Center Channel