ChanelMuslim.com- Istri menangis itu biasa. Masalahnya, sejauh mana suami memahami makna tangis itu.
Wanita memiliki kodrat yang berbeda dengan pria. Ia lembut dan perasa. Kelembutan dan perasa ini memang sesuai dengan tugas utamanya sebagai istri dan ibu. Istri sebagai pendamping, dan ibu sebagai pembimbing.
Sebagai pendamping, ia seumpama balancing pada sebuah roda. Meski terkesan kecil, fungsi itu begitu vital. Tanpa balancing, roda akan berputar liar.
Itulah mungkin yang dimaksud firman Allah subhanahu wa ta’ala sebagai litaskunu ilaiha, ketenangan atau keseimbangan. Sosok pria yang kuat dan bergerak cepat akan memiliki keseimbangan dan ketenangan dalam kekuatan dan kecepatannya.
Sebagai pembimbing, ia seperti rambu-rambu lalu lintas di tepian jalan. Terlihat diam, tapi sangat menentukan keselamatan gerak kendaraan. Di balik kesuksesan seorang anak, selalu ada sosok ibu yang gigih dalam kelembutannya.
Dua fungsi ini bergerak seiring sejalan. Di satu sisi ia sebagai pendamping untuk suaminya, dan di sisi lain ia sebagai pembimbing untuk anak-anaknya.
Namun, dua fungsi ini pula yang mampu menoreh luka kecil di hati seorang istri dan ibu. Karena kelembutan dan perasanya, luka kecil akan begitu terasa. Dan, inilah makna umum dari tangis seorang istri dan ibu.
Eksistensi yang Terabaikan
Sebagian masyarakat dalam budaya tertentu kadang masih menganggap kecil peran istri. Anggapan ini karena istri seolah hanya sebagai pelengkap eksistensi seorang suami. Ia seperti bukan sosok utama di balik hebatnya sebuah keluarga.
Selalu pandangan ini tertuju pada anggapan bahwa pria lebih unggul dari wanita. Pria yang memimpin. Pria yang memiliki harta. Pria yang serba menentukan. Pria yang memiliki status istimewa di masyarakat. Dan seterusnya.
Budaya ini terkesan kurang menganggap perlu pandangan wanita atau istri. Hal ini pun akhirnya menyatu dalam dinamika rumah tangga. Seperti musyawarah keluarga besar yang hanya diwakili para suami, keputusan internal rumah tangga yang hanya diambil suami, dan seterusnya.
Secara syariat, memang suami sebagai pemimpin keluarga. Tapi tidak berarti pandangan istri tidak diperlukan dan diabaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah mengambil keputusan penting karena pandangan brilian dari istrinya, Ummu Salamah.
Saat itu, para sahabat seperti “ngambang” untuk mengikuti perintah Rasul. Hal ini terjadi karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seolah kalah dalam perjanjian Hudaibiyah yang mengharuskan mereka batal pergi haji ke Mekah dan balik lagi ke Madinah.
Ummu Salamah yang saat itu ikut mendampingi Nabi pun menyarankan agar Nabi mencontohkan perbuatan apa yang harus dilaksanakan para sahabat. Dan benar saja, para sahabat akhirnya tersadar bahwa mereka telah salah terhadap perintah Nabi.
Jika istri memang tidak memiliki kemampuan memberikan pandangan karena hambatan wawasan dan lainnya, mungkin hal itu biasa saja. Dan biasanya istri akan mengatakan, “Terserah Mas saja!”
Namun, jika istri tergolong memiliki wawasan luas, pengabaian itu akan berdampak lain. Yaitu, ada kesan merendahkan martabatnya sebagai muslimah. Terlebih lagi istri sebagai aktivis yang terbiasa dengan problematika sosial. Tentu, soal internal rumah tangganya akan jauh lebih ia pahami.
Kesan pengabaian dan merendahkan inilah yang akan menggores luka. Terlebih lagi hal itu dilakukan secara terus-menerus karena pengabaian atau karena budaya tertentu. Pada saatnya istri akan bersuara. Tapi jika tidak juga dianggap, ia akan mengungkapkan lukanya melalui menangis.
Sebenarnya, istri yang berwawasan luas, cerdas, aktivis; merupakan anugerah luar biasa untuk keluarga, khususnya para suami. Suami harus mensyukuri itu dengan menganggap penting pandangan mereka. Sosok mereka jangan dikhawatirkan akan menjadi oposisi. Justru, akan menjadi koalisi yang setia. [Mh/bersambung]