ChanelMuslim.com- Ibarat malam, tetangga mungkin mirip dengan bulan. Tanpa bulan, malam terasa gelap. Tapi, bagaimana jika sang bulan tak bisa diam.
Tetangga merupakan keniscayaan dalam rumah tangga. Di mana pun kita tinggal, tetangga selalu ada di hampir semua sisi kehidupan rumah kita: kanan, kiri, depan, dan belakang.
Kadang tetangga datang di saat kita perlukan. Mereka menolong di saat kita butuh bantuan. Walaupun tidak sedikit dari tetangga yang justru menjadi beban. Terutama, beban perasaan.
Baca Juga: Adab Bertetangga dalam Islam
Tetangga Kepo
Jika tinggal di perkampungan, jangan heran jika dihadapkan dengan model tetangga yang kepo, alias serba ingin tahu. Seperti halnya intelijen, mereka begitu peka dengan info-info baru tentang sekitar. Walaupun info itu bukan hal penting.
Bagi mereka, info apa pun yang terjadi tentang kita, bisa menjadi hiburan. Bahkan seperti kerjaan di kala senggang. Bisa dibilang, tanpa ada info baru, mereka bisa seperti “pengangguran”.
Yang berbahaya dari model tetangga ini adalah pada sumber informasi. Serta, bagaimana mereka menafsirkan informasi itu menjadi sebuah kesimpulan.
Menghadapi tetangga seperti ini, memang butuh kepekaan. Artinya, ada info apa tentang kita yang sedang mereka jadikan kerjaan. Karena dengan mengetahui itu, kita bisa memberikan klarifikasi atau pelurusan.
Dengan kata lain, jangan jauhi mereka. Walau tidak harus tiap hari, harus ada waktu yang kita siapkan untuk berbagi cerita dengan mereka.
Sehingga ketika ada klarifikasi dari mereka, seperti, “Jeng, apa benar kabar yang bilang kalau suami Jeng di-PHK?”, saat itulah momen yang tepat untuk meluruskan “berita”.
Berikan juga sinyal karakter kita yang baik kepada mereka. Bahwa, kita tidak begitu tertarik dengan gosip. Kita lebih suka ngobrol tentang hal-hal yang baik, seperti resep baru, harga barang, dan lainnya. Tapi kalau ada info yang kurang tepat, khususnya tentang kita, kita tak segan untuk memberikan pelurusan.
Biasakan juga untuk memberikan pesan nilai agama. Tentu dengan cara yang santun atau tidak menggurui. Jadi kalau obrolan sudah nyerempet gosip, ungkapkan dengan gaya ringan bahwa itu ghibah.
Yang penting tidak memberikan kesan menggurui. Karena cara ini akan memberikan kesan bahwa yang diajak bicara tampak bodoh atau banyak dosa.
Ungkapkan dengan jujur dan rendah hati bahwa pembicaraan seperti itu ditakutkan akan menggiring diri sendiri, bukan orang diajak bicara, melakukan dosa. Dosa ghibah, fitnah, dan sejenisnya.
Jadi, larangan atau nilai agama yang disampaikan lebih ditujukan untuk kita. Bukan untuk tetangga atau yang diajak bicara.
Kalau obrolan lebih dari dua orang, dan masih tetap berlanjut dengan topik gosip, bisa ambil langkah pamungkas. Yaitu, menunjukkan sikap lepas diri. Seperti, “Waduh, maaf ya, saya pamit dulu.”
Kalau lebih dari sekali kita mampu menunjukkan sikap seperti itu, mereka akan mudah menyimpulkan bahwa kita memiliki karakter lurus. Tidak mudah ikut-ikutan ngomongin gosip.
Suatu saat, mereka akan berhati-hati jika bicara dengan kita. Selain takut kena “tembak” berupa nasihat dalam bentuk sikap tadi, mereka pun takut mengalami “jatuh” harga diri karena melakukan hal-hal yang tak terpuji. [Mh/bersambung]