ChanelMuslim.com- Suami istri itu manusia. Keduanya tidak punya antena yang bisa disetel satu frekuensi. Jadi, wajar saja jika suami istri mengalami beda sinyal.
Kalau mau melihat dua manusia dalam satu hati, lihatlah suami istri yang selalu harmonis. Seolah keduanya berada dalam satu ide, satu rasa, satu langkah, dan satu selera.
Namun, tidak semua yang terikat itu menyatu seperti di atas. Banyak sebab hal itu bisa terjadi. Mungkin karena ikatannya yang perlu dikencangkan. Mungkin juga karena keduanya sama-sama manusia yang kadang “dinamis”, atau berpotensi berubah tergantung lingkungan.
Sejauh mana beda sinyal itu bisa terjadi? Sejauh dinamika lingkungankah, sejauh karena orangnyakah, atau sebab lain.
Boleh Jadi, Masih Kuatnya Pengaruh Orang Tua
Kedewasaan seseorang bukan hanya soal ukuran fisik. Bukan juga besaran usia. Apalagi, jenjang sekolah dan karir. Melainkan pada sejauh mana tingkat kemandiriannya.
Meski seseorang masih belia, ia bisa disebut dewasa karena tingkat kemandiriannya. Berkembang dengan modal sendiri, bergerak dan melangkah dengan idealisme sendiri, dan siap menanggung risiko sendiri.
Tapi jika kemandirian seseorang masih di bawah lima puluh persen alias orang tua minded, ia belum disebut dewasa. Langkahnya selalu berada dalam bayang-bayang ayah atau ibunya.
Kalau ia berpendapat A dan menyangkal B, hampir dipastikan kalau ayah ibunya juga memiliki pendapat seperti itu. Seolah-olah, pendapatnya adalah pendapat ayah ibu.
Suami atau istri adalah sosok yang mestinya sudah dewasa. Artinya, sudah mampu mandiri tanpa topangan orang tua. Bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal orisinalitas pemikiran, kemurnian selera, dan seterusnya.
Tapi karena sesuatu dan lain hal, bayang-bayang orang tua masih begitu kentara di suami istri ini. Aktor sebuah sinetron komedi ada yang kerap berujar, “Menurut Bapak saya….”
Selama bayang-bayang ini masih kuat, suami istri boleh jadi hanya akan terikat dari segi status saja. Tapi dari pemikiran, ide, dan gagasan bukan asli dirinya sendiri.
Dengan kata lain, yang terikat itu hanya fisiknya saja. Tapi isinya masih bentukan pabrik, alias di bawah bayang-bayang orang tua.
Petuah, pelajaran, pesan dari orang tua sangat bagus untuk dijadikan patokan. Tapi, tidak untuk segala situasi dan keadaan. Karena boleh jadi, beda zaman beda masalah.
Ketika suami istri terikat dalam sebuah tanggung jawab mulia, maka lepaslah bayang-bayang orang tua. Segala penghormatan kepada orang tua tentu tetap dijunjung tinggi, tapi soal gagasan dan sejenisnya harus diusahakan dari diri sendiri berdasarkan keadaan nyata yang dihadapi.
Hal ini karena masing-masing pihak, suami atau istri, punya orang tua yang berbeda. Dan itu juga berarti latar belakang idealisme, pemikiran, dan gagasan yang berbeda. Orang Betawi mungkin saja kurang menganggap berat menghitung untung rugi, tapi tidak begitu dengan orang Minang.
Karena itu, dasar kalkulasi mengikuti objek yang dihadapi di hadapan suami istri. Bukan menurut bapak atau ibu saya. Kalau sebagai masukan boleh-boleh saja, tapi tidak seperti undang-undang yang harus kata per kata.
Yuk menjadi suami istri yang mandiri. Karena kita pun harus siap mewariskan anak-anak yang juga mandiri. [Mh]