ChanelMuslim.com- Nalar yang biasa dominan pada pria dan rasa pada diri wanita bukan dua kutub yang tidak mungkin saling bertemu. Alangkah baiknya jika kita belajar empati, agar nalar bergradasi rasa dan rasa bergradasi nalar.
Sebuah riwayat menyebutkan, suatu kali Rasulullah saw. sedang berada di tempat tinggal Aisyah r.a. Seorang pelayan membawa semangkuk bubur untuk diberikan kepada Rasulullah. Saat tahu bubur itu dari istri yang lain, Aisyah pun langsung menepuk mangkuk bubur itu hingga jatuh dan tumpah.
Sang pelayan terkejut. Saat itu juga, dengan respon yang rileks, Rasulullah saw. mengatakan, “Ibumu sedang cemburu.” Pelayan itu pun memaklumi, kemudian berlalu meninggalkan Nabi dan Aisyah berdua.
Fragmen kehidupan lain seperti yang dilakukan Ibunda Hajar a.s. Baru saja menempati daerah sepi bernama Mekah bersama sang bayi, Ismail a.s., Hajar hendak ditinggal sementara oleh Nabi Ibrahim a.s.
Arti sementara untuk mereka bukan seperti kita. Bukan dua atau tiga hari, melainkan bisa hitungan bulan. Karena Hajar dan Ismail berada di Mekah, sementara istri pertama Ibrahim a.s. bertempat tinggal di Palestina yang berjarak ratusan kilometer.
“Hendak kemana?” ucap Hajar kepada suaminya. Setelah Nabi Ibrahim a.s. menjelaskan bahwa ini perintah Allah swt. yang harus ditunaikan, Hajar pun memahami. Walaupun, ia harus berjuang keras mati-matian untuk mendapatkan air untuk sang buah hati.
Bercampurlah nalar dan rasa dalam diri Ibunda Hajar a.s. Ia berlari dari bukit Shafa menuju Marwa, begitu akhirnya sebaliknya. Terus seperti itu hingga tujuh kali, demi untuk mendapatkan air. Permainan fatamorgana melecutnya untuk terus berusaha. Dan Allah mengabulkan hajat beliau dengan anugerah air istimewa sepanjang masa bernama zam zam.
Dua fragmen kehidupan dari dua sosok mulia di atas bisa menjadi teladan untuk kita. Sungguh pun tindakan Aisyah yang menepuk mangkuk bubur hingga terjatuh dan tumpah hanya lantaran pemberian dari istri Nabi yang lain sangat emosional, Nabi saw. menyikapinya dengan begitu manis.
Beliau saw. tidak marah. Tidak menghardik Aisyah lantaran telah bermubazir dengan rezeki Allah berupa bubur lezat. Beliau seperti berusaha menyelami apa yang dirasakan Aisyah, memakluminya, kemudian menutupi tindakan Aisyah itu dengan ucapan pemakluman: ibumu sedang cemburu.
Dari sisi yang berbeda, Ibunda Hajar a.s. juga mengajar kita tentang lompatan indah dari rasa ke nalar. Walaupun ia paham betul resiko apa yang akan ia hadapi di tempat sunyi hanya bersama sang bayi. Tanpa tempat tinggal yang memadai, bahkan tanpa air sedikit pun.
Ibunda Hajar a.s. berusaha menyelami apa yang sedang dirasakan suaminya, Nabi Ibrahim a.s. Bukankah perintah Allah menjadi segala-galanya melampaui hal lain. Termasuk, soal kebutuhan hidup yang belum terpenuhi.
Jika kita berada pada posisi Hajar, hal umrah apa yang mungkin akan dilakukan. Bayangan itu tergambar jelas dalam benak kita masing-masing. Kita akan protes, menangis, menggugat, dan memarahi suami yang tega meninggalkan istri dan bayinya di tempat yang tidak jelas.
Gradasi Nalar dan Rasa
Pria tidak boleh seperti wanita dan wanita pun tidak boleh berposisi menjadi pria. Tapi, pada hal tertentu, dominasi nalar dan rasa baiknya diubah sedemikian rupa untuk membentuk gradasi. Yaitu, sebuah penurunan komposisi dominasi untuk bisa bersinergi dengan dominasi yang lain.
Pria yang umumnya selalu berpikir rasional tidak ada salahnya untuk berempati pada istri untuk menyelami ruang rasanya. Begitu pun sebaliknya, istri yang biasa didominasi dengan sikap emosional sangat baik untuk menyelami rasionalitas yang sedang disikapi suami.
Sebuah peralihan yang tidak perlu mendadak dan ekstrim. Cukup dengan perubahan yang berirama, seperti sebuah gradasi yang menunjukkan perubahan tapi tetap meninggalkan jejak keindahan.
Suatu kali, suami istri hendak berangkat ke acara istimewa, seperti acara walimahan misalnya. Sang suami sudah siap dengan busananya. Siang berangkat saat itu juga. Ia menunggu istrinya yang belum juga siap.
Tiba-tiba istrinya keluar kamar sambil membawa dua gaun busana. “Mas, menurut Mas, gaun mana ya yang cocok kupakai sekarang?” ucapnya. Kalau dengan kacamata rasional, tidak ada yang perlu dipersoalkan dengan dua gaun itu. Hanya membuang waktu percuma.
Saat itulah, suami bisa belajar dengan empati, belajar melakukan gradasi dari nalar ke rasa. Pahami, dan selami rasa yang sedang dialami istri. Ia harus tampil di depan sanak keluarga. Berjalan dan bersanding dengan seorang suami yang seperti ini dan itu. Harus dengan warna serasi, enak dipandang, dan lain-lain.
Lunturkan sementara waktu dominasi nalar. Dan berempatilah menuju ruang rasa yang mungkin jelimet. Tidak perlu gunakan nalar untuk menjawab pertanyaan itu. Gunakan rasa: berpikir sebentar seolah sebuah persoalan yang berat, kemudian tentukan satu pilihan. Janganlah lupa, berikan argumen yang pas.
Namun masalahnya, seperti itukah yang biasa dilakukan suami pada umumnya. Jangankan memberikan jawaban yang pas, yang terucap justru protes dan celaan karena sudah memboroskan waktu dengan sia-sia.
“Umi ini gimana sih. Sudah mandinya lama, bersoleknya minta ampun, eh malah nanya baju yang mana yang cocok. Sudahlah! Yang mana pun cocok. Jangan yang aneh-aneh!” sebuah ucapan yang tentu sangat menyakitkan untuk seorang istri yang awalnya sedang terbuai rasa.
Pertanyaannya, nikmatkah perjalanan mereka berdua menuju tempat walimahan? Ada yang disakiti dalam awal perjalanan yang sebetulnya menyenangkan itu. Dan yang tersakiti boleh jadi akan membalas di momen yang pas.
Episod lain, ketika seorang suami tiba-tiba pulang ke rumah dengan wajah layu. Ia mengatakan, “Mah, musibah besar Mah. Bulan ini aku gajian terakhir. Mungkin, besok aku akan dipecat.”
Yang umum direspon istri dalam hal seperti itu biasanya merujuk pada suasana rumah. Bayangkan jika suasana sedang tidak menyenangkan: kontrakan hampir habis, anak-anak harus bayaran sekolah, tagihan kendaraan, dan lain-lain.
Jawaban istri bisa ditebak. Ia akan kecewa, marah, dan langsung seperti menggugat. “Papa gimana sih. Kerja yang benar dong, Pa. Jangan malas, ceroboh! Apa nggak lihat kita sedang butuh banyak uang?”
Sesulit apa pun suasana rumah yang kita alami. Ada baiknya berusaha untuk menyelami rasa apa yang menggelayut suami. Empatilah, coba sekali saja untuk menyelami rasa itu. Cari celah untuk bisa membangkitkan nalarnya.
“Pa, rezeki itu dari Allah. Yang saat ini kita miliki, dulunya juga nggak ada. Sabar, Pa. Insya Allah ada jalan keluar,” sebuah jawaban luar biasa yang muncul dari empati begitu dalam. Sebuah bentuk penampakan lain dari gradasi nalar dan rasa. (Mh/bersambung)