KEKUATAN akhlak ditulis oleh K.H. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc. yang menjelaskan bahwa akhlak merupakan kekuatan yang sangat dahsyat pengaruhnya.
وَاِ نَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4)
Ayat ini tidak hanya menyatakan bahwa Nabi saw punya akhlak yang sangat luhur tetapi juga mengisyaratkan bahwa akhlak merupakan kekuatan yang sangat dahsyat pengaruhnya. Terutama akhlak yang terpuji.
Kekuatan akhlak bisa mengalahkan kekuatan apa pun, sekalipun didukung kekuatan media, kekuasaan dan ekonomi.
Sekalipun di-bully sebagai pembohong, tukang sihir, teroris, pemecah belah masyarakat dan lainnya, tetapi dengan akhlaknya yang mulia, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berhasil meruntuhkan semua tuduhan yang dibiayai dan digerakkan oleh para tokoh musyrikin tersebut.
Bahkan kesabaran Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam menghadapi semua bully-an tersebut menimbulkan keraguan masyarakat terhadap kebenaran tuduhan tersebut dan membangkitkan rasa ingin tahu mereka tentang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan ajakan-ajakan yang disampaikannya.
Ini merupakan kemenangan dakwah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkat kekuatan akhlak yang dijaganya. Kekuatan akhlak selalu lebih besar dari kekuatan dana, buzzer, dan kekuasaan.
Sebaliknya pencitraan dan nama baik yang dibangun seorang pemimpin bertahun-tahun dengan biaya besar dan didukung kekuatan media yang gegap gempita dan ditopang kekuasaan, bisa runtuh dalam sekejap bila sang pemimpin melakukan tindakan tidak bermoral seperti suka berbohong, berkata kasar apalagi melakukan tindakan asusila.
Akhlak menjadi tiang penyangga peradaban dan budaya. Peradaban dan budaya yang tidak mengajarkan dan menjaga akhlak yang baik pasti runtuh dan hancur.
Baca Juga: Hadis tentang Akhlak Mulia
Kekuatan Akhlak
Sekalipun sampai berbusa-busa mulutnya mengaku sebagai penjaga budaya dan peradaban tetapi jika tidak bisa menunjukkan akhlak yang baik, pasti masyarakat yang beradab dan berbudaya tinggi mengecam dan menolaknya.
Perkataan kasar, kotor dan sarkasme yang dipertontonkan di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi budaya bahasa yang santun, bahkan memiliki beberapa tingkatan adab berbahasa seperti “kromo inggil” dan lainnya,
pasti menilai perkataan kotor dan kasar tersebut sebagai pelanggaran moral dan budaya bahasa yang selama ini sangat dijunjung tinggi.
Bisa jadi pelakunya mendapat sanksi moral dan sosial yang lebih berat ketimbang sanksi hukum. Distrust.
Islam sangat menghargai tingkatan kesopanan berbahasa. Karena itu, al-Quran menyebutkan beberapa istilah penggunaan bahasa yang beragam, sesuai tuntutan kondisi dan tingkatan adab berbahasa yang berlaku.
Seperti: qaulan ma’rufa, qaulan karima, qaulan sadida, qaulan layyina, qaulan baligha, qaulan tsaqila. Ini sekaligus menunjukkan pentingnya menjaga adab dalam berbahasa.
Setiap komunitas pasti memiliki tingkatan adab dalam berbahasa masing-masing. Menjaga budaya yang baik dalam berbahasa ini merupakan ajaran Islam, sebagaimana ragam adab bahasa yang diajarkan di atas.
Melanggarnya hingga menimbulkan antipati di kalangan masyarakat sama dengan melanggar ajaran Islam yang mengajarkan adab-adab berbahasa.
Karena itu, para ahli fiqh merumuskan kaidah: العادة محكمة . Adat kebiasaan yang baik bisa sama statusnya dengan hukum agama.
Akhlak yang baik muncul dari jiwa dan hati yang bersih. Hati dan jiwa yang kotor memunculkan akhlak yang kotor dan buruk.
Orang yang hati dan jiwanya kotor tetapi akhlaknya baik, biasanya hanya sementara waktu. Bila ada faktor pemicunya biasanya muncul watak dan akhlak aslinya.
Tidak benar ungkapan yang menyebutkan: Sekalipun mulutnya kotor dan kasar tetapi hatinya baik.[ind]
Sumber: Sharia Consulting Center (SCC)