BAGAIMANA karakter istri seorang Ustaz atau da’i? Tentu tidak sama dengan orang lain. Dijelaskan oleh Ustaz K.H. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc. bagaimana karakter istri seorang pendakwah.
Allah Subhanahu wa taala berfirman:
يٰنِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَ حَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ
“Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. ” (Al-Ahzab: 32)
Seorang da’i yang mengajak manusia kepada Allah tidak sama dengan orang lain yang tidak mengemban tugas dakwah.
Tugas-tugas dakwahnya sangat berat dan banyak. Bahkan kewajibannya lebih banyak dari waktu yang dimiliki..
Seorang da’i selalu memikirkan kondisi umatnya. Prihatin terhadap kerusakan dan kemungkaran yang tersebar luas.
Bersedih melihat berbagai konspirasi, kezaliman dan fitnah yang dilancarkan terhadap kaum Muslimin di berbagai belahan bumi. Terutama serangan, penghinaan dan persekusi terhadap para da’i itu sendiri.
Dakwahnya yang tulus dan sudah disampaikan dengan cara yang terbaik pun kadang masih ditolak dan dituduh dengan bermacam-macam tuduhan yang tidak baik.
Di samping itu semua, seorang da’i punya misi dan berkewajiban menyampaikan misi atau dakwah tersebut kepada umat manusia.
Kewajiban dakwah ini memerlukan waktu lama. Bisa mengurangi waktu tidur dan istirahatnya. Bahkan waktu istri dan anak-anaknya.
Juga memerlukan pengorbanan harta dan dunianya, selagi hal tersebut dalam rangka mencari ridha Allah.
Baca Juga: Karakter Suami Istri yang Disukai
Karakter Istri Seorang Ustaz
Seorang da’i yang punya beban berat seperti itu perlu istri pendamping yang memahami kewajiban dakwah dan urgensinya.
Memahami sepenuhnya apa yang dilakukan suaminya. Mengerti beban-beban berat yang dipikulnya. Mengetahui berbagai kesulitan yang dihadapinya.
Lalu memudahkan tugas-tugasnya, meringankan beban-bebannya dan menguatkan semangatnya.
Peran istri da’i seperti ini dicontohkan oleh Khadijah radhiyallahu anha, istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika berkata menenangkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sedang gundah dan menguatkan semangatnya di awal dakwah:
كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya! Karena sesungguhnya engkau suka menyambung tali silaturahim, memikul beban, membantu orang tidak berpunya, menjamu tamu dan membantu orang yang teraniaya atau terkena musibah”.
Tentu peran pendamping yang juga sangat berat dan penting ini tidak sama nilainya dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukan wanita biasa.
Karena itu ia akan mendapatkan semua pahala dakwah yang dilakukan oleh suaminya.
Sebab ia punya peran penting dalam mendukung, menguatkan dan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan suaminya sehingga sang suami bisa melakukan tugas-tugas dakwahnya dengan sangat baik.
Ini sesuai dengan prinsip yang disampaikan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya:
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا وَمَنْ خَلَفَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
“Barang siapa yang mempersiapkan (bekal) orang yang berperang di jalan Allah berarti dia telah berperang (mendapat pahala berperang).
Dan barang siapa yang menjaga (menanggung urusan rumah) orang yang berperang di jalan Allah dengan baik berarti dia telah berperang.” (Shahih al-Bukhari 2631)
Sebaliknya, jika ia menghambat dakwah suaminya sehingga berhenti berdakwah atau menyebabkan suaminya melakukan korupsi karena tuntutan duniawi yang berlebihan, atau mendorongnya berbuat dosa,
bisa jadi ia juga mendapat dosa sebagaimana dosa yang dilakukan suaminya. Karena ia menjadi sebab dosa yang dilakukan suaminya.
Karena itu, istri da’i harus menjadi pembuka pintu bagi kebaikan-kebaikan suaminya dan menjadi penutup pintu bagi keburukan-keburukan suaminya.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
إِنَّ هَذَا الْخَيْرَ خَزَائِنُ وَلِتِلْكَ الْخَزَائِنِ مَفَاتِيحُ فَطُوبَى لِعَبْدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ مِفْتَاحًا لِلْخَيْرِ مِغْلَاقًا لِلشَّرِّ وَوَيْلٌ لِعَبْدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ مِفْتَاحًا لَلشَّرِّ مِغْلَاقًا لِلْخَيْرِ
“Sesungguhnya kebaikan ini merupakan lumbung, sementara lumbung itu memiliki kunci-kunci.
Maka beruntunglah bagi seorang hamba yang telah Allah jadikan sebagai kunci pembuka kebaikan dan penutup bagi kejahatan.
Dan celakah seorang hamba yang Allah jadikan sebagai kunci pembuka kejahatan dan penutup bagi kebaikan.” (Sunan Ibnu Majah 234).[ind]
Sumber: https://t.me/robbanimediatama