DUSTA dan ketenangan hati. Orang yang gemar dusta hatinya tidak tenang, begitupun hidupnya. Pada dasarnya setiap hati manusia itu cenderung pada kejujuran (fitrah), hanya gegara nafsu kepentingan materi dan duniawi orang tega mendustai hati nuraninya sendiri.
Baca Juga: Meneladani Cara Ibrahim At-Taimi Menghindari Dusta
Dusta dan Ketenangan Hati
Oleh: Ustaz Umar Hidayat, M.Ag.
Nah… kalau sudah begitu, hampir bisa dipastikan jika hati nurani sendiri saja didustai apalagi Tuhannya? Apalagi orang lain? Waduh bahaya juga ya…
Orang yang kerap berdusta hati tak bakalan tenang hidupnya. Sejenak mungkin iya, tetapi itu tak akan berlangsung lama.
Akan terus terjadi perang batin. Semakin parah lagi bila yang didustakan itu agama, alamat tidak tenang dunia akhirat. Bagaimana membebaskannya?
Nampaknya ini dua urusan besar yang bertemu; kedustaan dan ketenangan hati. Bisa ada hubungannya. Bisa juga saling mempengaruhi.
Atau masing-masing berdiri sendiri mematuk masalah. Atau malahan bertemu melahirkan masalah besar. Nampaknya yang terakhir justru yang lebih potensial.
Dalam sebuah dialog dengan para sahabatnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, ”Apakah kalian menginginkan hati yang tenang dan terpenuhinya kebutuhan hidupmu ?”
Para sahabat menjawab dengan antusias, ”Benar, kami menginginkannya.”
Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, berilah makanan yang sama dengan makananmu, maka akan tenang hatimu dan akan terpenuhi pula kebutuhan hidupmu.” (HR Imam Thabrani dari Abu Darda).
Kunci menenangkan hati anak yatim dengan memenuhi kebutuhan makannya dan menenangkan jiwanya dengan menanda “kelekatan” mengusap kepalanya (yang menandai rasa sangat sayang dan dekat dengannya).
Demikian pula menjadi kunci ketenangan hidup (Allah pun memberi imbalan atas tindakan kita terhadap yatim) dengan dicukupkannya kebutuhan hidup kita oleh Allah Subhanahu wa taala. Subhanallah.
Baca Juga: Jadikan Hati Kita Sebening Kaca
Ketenangan Hati
Soal ketenangan hati memang sering menjadi efek atas kebutuhan hidup. Misal, hati menjadi tenang bila terpenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak muncul rasa khawatir maupun gelisah.
Di antara keuntungan memiliki hati yang tenang; seseorang akan mampu memecahkan berbagai persoalan hidupnya, betapapun kompleks dan berat masalah yang dihadapinya.
Di samping sang empunya akan mudah membangun optimisme dalam mencari dan mendapatkan rezeki yang halal hingga terpenuhi kebutuhannya.
Sedang siapa yang termasuk mendustakan agama? Menghardiknya, dan membiarkan anak yatim terlunta-lunta (terutama dari keluarga atau tetangga dekat) dianggap perbuatan yang mendustakan agama; dinyatakan dalam firman Allah Qs. 107: 1-3:
”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi bagian makanan pada orang miskin.”
Mengapa dianggap mendusta agama? Di antara jawaban yang paling dekat adalah karena agama Islam mengajarkan keselamatan, peduli dan kasih sayang.
Orang yang melakukan pembiaran terhadap nasib hidup (mininal enggan memberi makan) anak yatim, ia berarti telah mendustai apa yang diajarkan Islam.
Ia mendustai agama. Ini menandakan betapa pentingnya memperhatikan nasib mereka hingga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyatakan, ”Aku akan bersama para pengurus anak yatim di surga nanti, seperti dua jari tangan (berdekatannya).”[ind]