ChanelMuslim.com- Hati kita itu seumpama aliran listrik pada sebuah gedung. Jika mati, gedung akan lumpuh. Gelap, dan tak ada tanda kehidupan.
Orang Arab biasa menyebut hati dengan Qolbun. Orang bule menyebutnya dengan heart. Dan kita terbiasa mengatakan sebutan itu dengan hati.
Tentu bukan hati seperti kita menyebut bagian dari organ tubuh, hewan maupun manusia. Tapi hati yang ada di dada. Mungkin lebih tepatnya jantung. Persis seperti yang dikatakan orang Arab maupun orang bule.
Hati itu punya mata. Hati juga punya memori. Hati juga bisa bicara. Inilah bagian inti dari manusia. Ia seperti berada di dua alam: gaib dan nyata.
Dikatakan alam gaib, karena hati memiliki mata, memori, dan bisa bicara. Dan ketika disebut berada di alam nyata, karena hati bisa disentuh. Tepat di balik tulang dada. Ia terus berdetak. Kalau detak itu berhenti, manusia pun tidak hidup lagi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan tentang hati ini. “Dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Jika ia baik, baiklah seluruh diri manusia. Tapi bila ia buruk, buruklah seluruh diri manusia. Dan itu adalah hati.”
Di abad ke-13, ada seorang ulama yang menjelaskan tentang hati. Ia bernama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Merujuk pada firman Allah Surah Al-Hajj ayat 52-54, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa hati bisa dalam tiga keadaan.
Yaitu, ada saatnya hati berada dalam keadaan sehat atau qalbun salim. Hati ini bersih dari noda syirik kepada Allah subhanahu wata’ala. Ia seratus persen murni dalam pantulan cahaya Allah. Seperti apa cahaya itu memancar, seperti itu pula ia dipantulkan hati ini.
Kedua adalah hati yang sakit. Hati ini dihinggapi begitu banyak noda. Dari dosa yang satu ke dosa yang lain, dari maksiat yang satu ke maksiat yang berikutnya; menghasilkan sekian banyak noda hitam. Noda-noda inilah yang mengeruhkan suasana hati.
Di hati ini jenis, tidak semua cahaya Allah yang memancar di alam raya ini bisa dipantulkan secara sempurna. Hanya sebagian kecil saja yang mampu dipantulkan. Sementara sebagian besarnya meredup dalam noda-noda itu.
Ketiga adalah hati yang paling bahaya. Yaitu, hati yang mati. Seperti halnya tumbuhan yang daun, batang, dan akarnya tertutup sesuatu sehingga tak tersentuh cahaya matahari; seperti itulah keadaan hati ini.
Noda-noda di hati ini bukan lagi sekadar menempel. Tapi sudah membuat karat hitam hingga menutupi seluruh hati.
Di hati seperti ini, seterang apa pun cahaya Allah; tak akan pernah bisa terpantul dengan jernih. Cahaya yang terang benderang itu berubah gelap gulita di hati ini. Padahal cahaya sangat dibutuhkan oleh hati untuk bisa melihat, bahkan berpikir.
Bayangkan jika hati tak bisa melihat dan berpikir, ia tak ubahnya seperti mobil yang berjalan di tempat gelap, lampu yang mati, dengan kaca gelap, dan tanpa pijakan rem sedikit pun.
Hati juga seumpama kaca pada kacamata seseorang. Harus selalu dibersihkan agar pandangan di luar sana tampak jernih apa adanya. Kalau tidak, kacamata bukan lagi menjadi penguat penglihatan, justru akan menjadi penghalang.
Pandangan hati jauh melampaui mata kita. Ia bisa melihat yang tak bisa dilihat mata biasa. Ia bisa menangkap cahaya yang redup dan temaram sekali pun. Ia jauh lebih peka dari kepekaan anjing penjaga.
Bayangkan manusia yang tanpa memiliki itu semua. Pandangannya hanya sebatas yang ia lihat. Ia tak akan mampu menatap sesuatu di balik sesuatu yang tampak. Tak akan merasakan sesuatu yang tak ia sentuh, meski berjarak beberapa mili saja.
Dunia yang terang ini begitu gelap gulita. Lebih gelap terasa dari orang buta. Dinamika alam ini pun seperti kumpulan benda mati yang nihil tanda. Tak ada ketenangan. Tak ada makna hidup yang sebenarnya.
Teruslah berusaha menjadikan hati ini selalu sehat. Bersih, bening seperti kaca. Agar terang benderangnya cahaya Allah bisa terus memandu kita dalam dinamika hidup yang berat dan penuh perangkap. [Mh]