ChanelMuslim.com – Bacalah Dengan Nama Tuhanmu (QS. Al-‘Alaq) Bag. 3, Oleh: Ustadz Dr. H. Syaiful Bahri, M.A
Pilihan yang Selalu Berkonsekuensi
Jika mendustakan dan menghalang-halangi dakwah serta risalah yang dibawa Nabi Muhammad merupakan pilihan yang diambil oleh orang yang tidak memahami atau mengingkari dahsyatnya nikmat dan karunia diutusnya beliau, maka balasan yang buruk sangat pantas baginya. Karena ia telah melecehkan keberadaan dan kekuasaan Dzat Yang Maha Melihat.
Baca Juga: Bacalah Dengan Nama Tuhanmu (QS. Al-Alaq) Bag. 2
Bacalah Dengan Nama Tuhanmu (QS. Al-‘Alaq) Bag. 3
”Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatan-nya?” (QS. 96: 14)
Bisa jadi bukan karena ketidaktahuan, namun karena kesombongan dan keangkuhan hati yang menutupi kesadaran akan kemahabesaran Allah.
Karenanya ia berbuat sesuka hati dan tidak pernah sekalipun ia mengerem nafsunya serta memperturutkan hawa dan syahwat kesesatannya. Ia tidak sadar bahwa yang ia musuhi dan ia hadapi bukanlah sekedar anak yatim saja. Tapi beliau adalah utusan Sang Maha Perkasa yang secara penuh memback up dakwahnya.
Tidakkah ia sadar akan ancaman Allah, ”Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” (QS. 96: 15-16)
Menurut al-Mubarrid, salah seorang pakar Bahasa Arab terkemuka, mengatakan, ”as-saf’u” artinya mengambil dengan paksa dan kekerasan. Apalagi yang diambil di sini adalah ubun-ubun. Maka bukan hanya fisik yang tersakiti. Ia akan benar-benar merasa terhinakan dan direndahkan. Karena ubun-ubun atau kepala adalah bagian termulia manusia.
Ada pendapat lain dari al-Farra` bahwa yang dimaksud di sini adalah menghitamkan wajah sebagai kiasan akan ditimpakan kepadanya adzab neraka yang pedih dan menghanguskan.
Yaitu ubun-ubun atau wajah yang hangus milik sang pendusta yang mengingkari dan memusuhi serta menyakiti Nabi Muhammad saw. Para pakar bahasa di sini membolehkan badal (ganti) dengan menggunakan isim nakirah padahal sebelumnya disebut dengan isim makrifat.
Az-Zamakhsyari dan Abu Hayyan memberikan dispensasi tersebut karena isim nakirah setelah makrifat tersebut memberikan penjelasan sebagai sifat. Sehingga seolah ia berdiri sendiri memberikan penjelasan tambahan setelahnya (al-ifadah).
Jika hal di atas terjadi, maka kepada siapa lagi ia hendak meminta pertolongan. ”Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)” (QS. 96: 17)
Sebagaimana ia mengumpulkan mereka didarunnadwah, mengadakan konspirasi untuk mencelakakan Nabi Muhamamd saw. Dalam ayat ini seolah kata ”nadiah” yang berarti majelis menyimpan sebuah mudhaf yaitu para pegiatnya.
Namun, panggilan dan permintaan tolong tersebut tak menghasilkan apapun kecuali keputusasaan dan penyesalan. Karena nasib mereka juga tak lebih baik darinya.
Justru Allah yang ”… akan memanggil Malaikat Zabaniyah” (QS. 96: 18) dan diperintahkan untuk mendatanginya, kemudian memberikan siksaan yang tiada tandingan dan bandingannya sebelum dan sesudahnya.
Maka, orang dengan karakter pembangkang dan pendusta tersebut tak perlu lagi didengar perkataannya apalagi sampai terpengaruh dengan syubhat dan ejekannya. Dan salah satu jalan untuk menguatkan diri dari pengaruh kejelekan tersebut yang paling mujarab adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah dan bersujud kepada-Nya.
”Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (QS. 96: 19)
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa kedekatan terbaik dan paling dekat seorang hamba dengan rabbnya terjadi pada saat ia bersujud. Apalagi ada sebuah hadits yang menyatakan,
”Keadaan yang paling dekat dari seorang hamba dengan Tuhannya adalah pada saat ia bersujud maka perbanyaklah berdoa”.
Penutup
Semoga akhir yang tragis yang dialami oleh Abu Jahal –baik di dunia dengan mati terhinakan atau di akhirat sengsara dalam keabadian adzab-Nya- bisa kita jadikan pelajaran untuk tidak mencoba-coba menjadi penghalang dakwah Rasulullah saw atau menjadi orang yang mengabaikan sunnah-sunnahnya.