ChanelMuslim.com – Shuhaib bin Sinan dilahirkan dalam lingkungan kesenangan dan kemewahan. Bapaknya menjadi hakim dan walikota “Ubullah” sebagai pejabat yang diangkat oleh Kisra atau maharaja Persi.
Mereka adalah orang-orang Arab yang pindah ke Irak, jauh sebelum datangnya Agama Islam. Dan di istananya yang terletak di pinggir sungai Efrat ke arah hilih “Jazirah” dan “Mosul,” anak itu hidup dalam keadaan senang dan bahagia.
Baca Juga: Kisah Dakwah Rasulullah saw di Darul Arqam
Kedatangan Shuhaib bin Sinan di Rumah Arqam
Pada suatu ketika, negeri itu menjadi sasaran orang-orang Romawi yang datang menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk diantaranya Shuhaib bin Sinan.
Ia diperjual belikan oleh saudagar-saudagar budak belian, dan perkelanaannya yang panjang berakhir di kota Mekkah, yakni setelah menghabiskan masa kanak-kanak dan pemulaan masa remajanya dinegeri Romawi, hingga lidah dan dialeknya telah menjadi lidah dan dialek Romawi.
Majikannya tertarik akan kecerdasannya, kerajinan dan kejujurannya, hingga Shuhaib dibebaskan dan dimerdekakannya, dan diberinya kesempatan utnuk dapat berniaga bersamanya.
Maka pada suatu hari, kawannnya Ammar bin Yasir mengisahkan peristiwa yang terjadi padah hari itu:
Saya berjumpa dengan Shuhaib bin Sinan di muka pintu rumah Arqam, yakni ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di dalamnya.
“Hendak kemana kamu?” tanya saya.
“Dan kamu hendak kemana?” jawabnya
“Saya hendak menjumpai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar ucapannya,” kata saya.
Demikianlah kami masuk ke dalam, dan Rasulullah menjelaskan tentang aqidah Agama Islam kepada kami, setelah kami meresapi apa yang dikemukannyam, kamipun menjadi pemeluknya.
Kami tinggal di sana sampai petang hari. Lalu dengan sembunyi-sembunyi kami keluar meninggalkannya.”
Jadi Shuhaib telah tahu jalan menuju ke rumah Arqam, artinya ia telah mengetahui jalan menuju petunjuk dan cahaya, juga ke arah pengorbanan berat dan tebusan besar.
Maka melewati pintu kayu yang memisah bagian dalam rumah Arqam dari bagian luarnya, tidak hanya berarti melangkahi bandul pintu semata, tetapi hakikatnya adalah melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan.
Yakni alam lama dengan segala apa yang diwakilinya baik berupa keagamaan dan akhlak, maupun berupa peraturan yang harus dilangkahinya menuju alam baru dengan segala aspek dan persoalannya.
Melangkahi pintu rumah Arqam yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki, pada hakikatnya dan kenyataannya adalah melangkahi bahaya besar luas dan lebar.
Maka menghampiri rintangan itu, memulai tanggung jawab yang tidak enteng!
Apalagi fakir miskin, bundak belian dan orang perantau, memasuki rumah Arqam itu artinya tidak lain suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari manusia.
Sahabat kita Shuhaib adalah anak pendatang atau orang perantau, sedang shahabat yang berjumpa dengannya di ambang pintu rumah tadi, yakni ‘Ammar bin Yasir, adalah seorang miskin.
Tetapi kenapa keduanya itu berani menghadapi bahaya, dan kenapa mereka bersiap sedia untu menemuinya?
Itulah, dia panggilan iman yang tak dapat dibendung! Dan itulah, dia pengaruh kepribadian Muhammad yang kesan-kesannya telah mengisi hati orang-orang baik dengan hidayah dan kasih sayang!
Dan itulah dia daya pesona dari barang baru yang bersinar cemerlang, yang telah memukai akal pikiran yang muak melihat kebasian barang lama, bosan dengan kesesatan dan kepalsuannyanya!
Dan di atas itu semua, itulah rahmat Allah Ta’ala yang dilimpahkan-Nya yang diberikan kepada orang yang kembali dan menyerahkan diri kepada-Nya. [Ln]