PADA artikel sebelumnya, telah dijelaskan tentang the chosen atau orang-orang pilihan pada surah Ali Imran ayat 33 yang ditunjuk langsung oleh Allah untuk kuat mengemban amanah risalah tauhid mewakili individu.
Kali ini kita akan membahas orang-orang pilihan yang menjadi sebuah prototipe keluarga teladan:
Ketiga, bila sebelum ini dua individu dipilih Allah sebagai contoh dan teladan manusia. Berikutnya Allah menyertakan Ibrahim dan keluarganya sebagai prototipe keluarga ideal.
Ia sukses mengorganisir potensi internal anggota keluarga yang kemudian digunakan untuk berdakwah dan bersosial di tengah-tengah masyarakat.
Lihatlah Ibrahim muda yang cerdas ketika berdebat dengan rezim yang zhalim. Lihatlah keberanian Ibrahim muda meluluhlantakkan khurafat dan simbol kejahiliahan kaumnya.
Lihat pula kegigihan dan keteguhan beliau berpegang pada prinsip meski dipanggang di tengah api yang juga sebagai makhluk Allah.
Ali Imran Ayat 33, The Chosen: Orang-Orang Pilihan (Bag. 2)
Dengan titah-Nya pula hal ini menjadi pintu mukjizat bagi beliau. “Kami berfirman: Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS. 21:69).
Pun pada saat beliau berkeluarga. Kesabaran menanti keturunan juga patut dijadikan contoh.
Demikian halnya pengajaran dan pendidikan akidah yang mantap dan matang pada keluarganya.
Lihatlah kisah mengharukan yang diabadikan al-Quran ketika beliau meninggalkan anak dan istrinya di sebuah lembah yang tak ada kehidupan sedikitpun di sana (lihat QS. 14:37)
Demikian halnya pendidikan kepasarahan dan ketundukan pada Allah ditanamkan pada anak-anaknya. Sebagai contoh kedewasaan Ismail pada usia yang belia saat turun perintah penyembelihan.
Sebagai balasan ujian ini Allah menggantinya dengan kemuliaan di atas kemuliaan. Beliau yang dijuluki sebagai abul anbiyâ’ (bapaknya para nabi) ini adalah khalîlurrahmân, kekasih Allah.
Anak dan bapak ini lah dengan titah Allah membangun ka’bah yang kelak menjadi kiblat seluruh kaum muslimin. Juga menjadi salah satu poros dalam ibadah haji.
Bahkan kisah-kisah heroik Ibunda Hajar diabadikan menjadi salah satu manasik haji. Sa’i (berlari-lari kecil) akan mengingatkan kita bagaimana beliau panik mencari air untuk anak semata wayangnya yang kehausan.
Dan dari hentakan kaki Ismail kecil Allah memancarkan zamzam, sebuah mata air yang hingga kini terus memancar. Bahkan sarat dengan berbagai kelebihan melebihi air manapun di permukaan bumi.
Ketika melempar jamarat pun kita mengingat bagaimana Nabi Ibrahim menyambit syetan yang terus mengganggunya dan menggodanya. Sebenarnya ini sekedar simbol.
Karena permusuhan abadi syetan ada pada diri manusia. Karena syetan mengalir dalam darah manusia.
Keluarga sukses seperti yang dibina Nabi Ibrahim ‘alaihissalam laik dicontoh untuk membentuk keluarga ideal.
Penanaman akidah sejak dini pada anak, mendidik istri sehingga matang dan mantap dengan jalan dakwah suaminya.
Pada akhirnya semua bermuara menjadi pendukung bahkan penopang dakwah yang diembannya. Dan akan terasa semakin ringan.
Meski terror kezhaliman tak pernah sepi. Tapi Ibrahim semakin kokoh dan kuat. Bahkan sampai keturunannya pun menjadi penerus estafet dakwahnya.
Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf dan berakhir pada Nabi Muhammad yang menjadi pamungkasnya.
Keempat, bila tiga sampel sebelumnya Allah memilihnya dari kalangan Nabi dan Rasul-Nya. Maka orang pilihan keempat pada ayat yang kita tadabburi jatuh pada keluarga Imron.
Keluarga biasa dari kalangan Bani Israil yang bukan nabi juga bukan dari kalangan rasul. Bahkan figur Imron sama sekali tak pernah disinggung.
Namun, biasnya terlihat pada istri dan anak perempuannya, Maryam. Bahkan namannya tersemat menjadi salah satu nama surat dalam al-Qur’an.
Kegiatan dan kondisi keluarga Imron misalnya, tergambar sebuah kesalehan kolektif yang diwakili oleh istri Imran yang hendak mendermakan seluruh hidupnya demi sebuah pengabdian pada Tuhannya.
Sehingga ia bernadzar hendak mengabdikan anaknya kelak untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Namun, ia terkejut ketika bayi perempuannya lahir.
Semula ia menyangka nadzarnya akan kandas. Ia tetap memohon penerimaan ketulusan niatnya. Allah pun menerimanya. Bahkan mendidiknya dengan segala inayah dengan naungan berbagai kelebihan.
Sehingga kematangan Maryam kecil memang seolah dipersiapkan untuk mengemban tugas berat.
Kelak, sebagai ibu seorang nabi yang terlahir dari rahimnya yang suci. Dengan titah Allah. Dengan kalimat Allah. Tanpa perantara seorang bapak.
Dan Maryam ini pulalah yang mengajarkan sebuah makna tauhid dan kemahakuasaan Allah kepada Nabi Zakaria ‘alaihissalam ketika beliau bertanya padanya:
“Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. 3:37)
Sebuah kesalehan yang terbina sejak kecil, dari anak yatim tersebut. Kesalehan yang memantul dari pribadi ibunya yang salehah. Dari sejak sebelum melahirkannya.
Anehnya, justru kisah pribadi Imron tak kita jumpai di sini atau di bagian lain dari al-Qur’an.
Seorang lelaki saleh yang tak sempat menyaksikan kelahiran putrinya. Karena Allah memang menginginkannya demikian, supaya hanya Dia yang merawat dan mendidik anaknya.
Tidak disebutkannya kisah Imron ini, wallahu a’lam, merupakan jawaban atas tuduhan diskriminasi gender dalam al-Qur’an. Bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk menjadi orang-orang pilihan Allah.
Perkataan istri Imron, “dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan”. (QS. 3:36) bukanlah ungkapan diskriminatif.
Sebuah keterkejutan yang wajar bila ternyata bayinya seorang perempuan. Lantas bagaimana ia merealisasikan nadzarnya? Dan Allah pun menerimanya dengan penerimaan yang baik. (QS. 3:37)
Kesalehan kolektif ini tidaklah mungkin hanya diraih individu-individu yang ada di dalamnya tanpa sebuah kesalehan pemimpinnya.
Imron yang saleh menjadi pantulan kedewasaan, kematangan, ketabahan, ketulusan, kesediaan untuk berkorban dan beberapa determinan kesalihan kolektif tersebut.
Berbahagialah Imron yang berhasil memimpin keluarganya. Bukankah demikian, impian orang-orang salih sebelum kita, yang senantiasa menggumamkan doa,
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 25:74)
Dan Imran meraih predikat itu. Beliau dan keluarganya laik menjadi teladan bagi umatnya.
Kematangan Maryam pula yang-seolah- menyadarkan kembali Nabi Zakaria akan berbagai keajaiban yang mungkin terjadi dengan ketidakterbatasan kuasa Allah.
Dan beliau yakin bahwa keajaiban tersebut hanya bisa diraih dengan kedekatan pada yang pemilik berbagai keajaiban.
Karenanya, dengan keyakinan penuh beliau bermunajat. Dan Allah mengabulkan keinginannya. Dengan karunia penyambung keturunan sekaligus estafet dakwahnya.
Orang-orang pilihan yang diangkat dalam ayat ini mempunyai karakteristik yang sama, rabbani. Dan di antara mereka memiliki kesinambungan perjuangan dan estafet dakwah.
Anda ingin menjadi orang pilihan? Ikuti jejak mereka. Lanjutkan tongkat estafet dakwah mereka.
Wallahu A’lam
Catatan: DR. Syaiful Bahri, M.A
[Ln]