ISTIQOMAH atau konsisten dalam ketaatan adalah buah dari keimanan. Ia tidak didapat dengan cara instan. Istiqomah butuh waktu yang panjang. Seorang yang memutuskan berhijab tidak menjamin akan terus berhijab jika ia tidak berusaha meraih istiqomah.
Istiqomah mengharuskan kita mengorbankan waktu, pikiran, tenaga untuk memahami dan mengenal Allah serta segala aturan-Nya.
Bagaikan memegang bara api, tantangan untuk istiqomah cukup curam. Sehingga tak jarang kita temui mereka yang berhijab memutuskan melepasnya karena ada keuntungan lain yang ia dapat dari melepas hijab.
Atau seorang yang dulunya konsisten shalat di masjid menjadi tidak shalat sama sekali karena merasa bosan dan ia tidak melihat ada keuntungan dari kebiasaannya itu.
Begitupula seseorang yang bertahun-tahun rutin membaca al-Qur’an bisa menjadi pendukung legalisasi alkohol atau penyimpangan seksual karena sulit membedakan mana yang maslahat menurut Islam dan bukan.
Masih banyak contoh betapa istiqomah dalam keimanan itu adalah buah yang harus dipetik dari pohon yang tinggi dengan batang penuh duri dan serangga.
Baca Juga: Yunus ayat 62-63, Salah Paham Tentang Istilah Wali Allah
Al-Ahqaf Ayat 13, Istiqomah Butuh Waktu yang Panjang
Dalam surah Al-Ahqaf ayat 13 Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Allah ingin menyampaikan kepada kita semua melalui ayat di atas, bahwa ucapan haruslah sesuai dengan apa yang ada di dalam hati kita. Dan ucapan haruslah diwujudkan dalam perbuatan.
Mukmin tidak cukup dengan hanya berpakaian menutup aurat, shalat lima waktu di masjid, membaca al-Qur’an sehari tiga kali dan lain sebagainya.
Amalan lahiriyah tidak cukup menggambarkan makna iman yang sesungguhnya, karena amalan lahiriyah akan rapuh jika tidak diberengi dengan kekuatan iman dalam hati.
Demikian pula, kita tidak cukup meyakini dan mengakui iman di dalam hati, tanpa mewujudkannya dengan ucapan dan tindakan.
Keduanya harus berjalan secara beriringian untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu istiqomah.
Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang iman, ia bersabdah: “Bukanlah iman itu dengan (engkau) berangan-angan, dan bukan pula dengan hiasan luar saja”
Jika seorang mengaku beriman, maka ia berusaha sekuat mungkin untuk menghindari segala kemaksiatan. Tidak hanya memajang al-Quran di rak-rak rumahnya, namun bagaimana al-Quran hidup di hati, ucapan dan perbuatannya.
Tidak hanya berhijab panjang terurai menjuntai hingga kaki, namun juga dibenaknya menolak segala pelanggaran syariat, ucapannya dipenuhi dengan syiar-syiar Islam, dan perbuatannya wujud dari dukungan atas agenda-agenda kebaikan.
Seorang yang mengaku beriman kepada Allah tidak cukup hanya membenarkan bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta dan seisinya, Allahlah yang memberi kita rezeki baik berupa materi ataupun ketenangan batin.
Demikian pula tidak cukup hanya mengaku bahwa Allah yang memiliki segala kebaikan dan yang mengatur segala urusan.
Segala pengakuan tersebut tidaklah cukup tanpa pembuktian. Bukankah iblis juga mengakui Allah dengan segala kemulian-Nya, akan tetapi ia tidak mau mengikuti perintah-Nya, tidak mau tunduk pada syariat-Nya, dan tidak mau menyembah kepada-Nya.
Iman dibuktikan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Menjadi istiqomah itu butuh waktu yang panjang. Itulah mengapa pada ayat di atas Allah menggunakan lafaz tsumma (kemudian) yang menunjukkan antara satu kejadian dengan kejadian berikutnya memiliki rentang waktu yang panjang.
Dalam rentang waktu itulah seorang yang mengaku beriman harus mengerahkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk mencapai istiqomah.
Menghadiri majelis ilmu, membaca kitab-kitab para ulama, mentadaburi pesan-pesan al-Qur’an, melakasanakan beragam ibadah, mendalami hakikat dan makna ibadah, berkumpul dengan orang-orang shalih dan seterusnya, adalah jalan menuju istiqomah.
Jika seluruh amalan ini telah menjadi kebiasaan, dan menghujam di hati maka tidak ada kekhawatiran apapun tentang masa depan.
Ia tidak akan cemas jika keputusannya untuk beriman kepada Allah berhadapan dengan kerugian duniawi. Karena baginya dengan iman segalanya telah tercukupi. [Ln]