CERDAS didamba semua orang: anak kecil, orang dewasa, laki, perempuan, bahkan yang lanjut usia. Tapi, sekadar mengingatkan bahwa cerdas tak cuma tentang otak.
Dua peristiwa miris terjadi di waktu yang hampir bersamaan. Subjeknya, sayangnya, adalah siswa sekolah yang masih remaja.
Ada peristiwa bully yang menghebohkan di sebuah sekolah menengah pertama di daerah Jawa Tengah. Ada pula peristiwa siswi SD di Jakarta yang diduga meloncat dari lantai empat gedung sekolahnya.
Kejadian ini begitu menyentak para pendidik, orang tua, dan peneliti pendidikan. Kenapa hal ini bisa terjadi, dan kejadiannya di waktu yang hampir berdekatan.
Fenomena Gunung Es
Dua kasus di atas tentu bukan berarti hanya itu saja yang terjadi. Seperti fenomena gunung es, masih banyak kasus lain yang tak terpublikasi ke publik dan bertebaran di banyak tempat dan sekolah.
Seperti kasus anak SD di Jawa Timur yang matanya menjadi buta karena korban bully di sekolahnya. Ada lagi anak artis yang dikabarkan ikut menjadi korban bully di sekolah SD tempatnya belajar.
Pertanyaannya, apa yang salah dengan perkembangan anak-anak kita? Mereka menjadi korban kekerasan justru di tempat di mana mereka menimba ilmu.
Kecerdasan Bukan Hanya tentang Otak
Pengingatan ini tentu bukan yang pertama. Begitu banyak kajian, arahan, dan sejenisnya yang menjelaskan tentang kecerdasan lain yang juga harus diperhatikan.
Namun, metode dan target pendidikan yang melulu mengincar keunggulan kognitif atau prestasi otak menjadikan sisi kecerdasan lain kerap terlupakan.
Padahal, kognitif menurut sebagian ahli hanya menempati 20 persen saja dari kesuksesan seseorang. Masih ada 80 persen lainnya yang tak boleh diabaikan.
Kecerdasan Emosional
Manusia bukan seperti robot yang hanya berisi memori, logika, dan sejenisnya. Ada sisi lain yang justru lebih dominan dari itu, yaitu hati dan jiwa.
Emosional adalah salah satu hal yang juga ada dalam lingkup itu. Seperti halnya nalar, memori, dan logika; emosional juga harus dididik dan diberikan kecerdasan yang memadai.
Karena dalam keseharian hidup ini, benturan-benturan atau konflik emosi kerap dirasakan banyak orang. Termasuk anak didik yang sebagian besarnya adalah remaja yang sedang mencari identitas diri.
Ruang kompromi di dunia remaja masih sempit. Dalam dunianya umumnya cenderung hitam putih: sukses atau gagal, pintar atau bodoh, menang atau kalah.
Padahal, di antara dua kutub itu ada gradasi kompromi. Tidak semua yang tidak sukses itu disebut gagal. Ada setengah gagal, seperempat gagal, dan seterusnya. Dan dari kompromi itulah seseorang memiliki daya dorong untuk bangkit meraih keberhasilan.
Contoh, seorang anak yang mendapatkan nilai minim tidak lantas down. Ia tidak merasa gagal. Karena masih ada peluang untuk memperbaiki. Yang ia butuhkan adalah lebih semangat belajar lagi, bukan terjebak pada kesedihan dan putus asa. [Mh/bersambung]